Namanya Lucia Hartini.
Dia adik kelasku ketika di SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia), Yogyakarta. Kini SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa).
Kami memanggilnya Tini. Lucia ketika masuk SSRI (1976) bersama adik perempuannya bernama Yanti, pada tahun yang sama. Hanya beda jurusan. Tini mengambil jurusan Seni Lukis. Yanti di jurusan Seni Patung.
Tini dan Yanti dijuluki teman teman “Si Kembar”. Kebetulan mereka sama sama berambut panjang hingga pinggul. “Klasik bagai Monalisa” juga ditabalkan pada mereka yang dengan berbisik genit oleh siswa laki laki.
Tini dan Yanti berparas cantik. Mereka memang “Kembang”, memang “Primadona” di SSRI. Maklumlah sekolah Seni/Senirupa, mayoritas muridnya lelaki. Siswi sedikit, hanya hitungan jari.
Bahkan di perguruan tingginya. Angkatanku (1980) jurusan seni lukis STSRI “ASRI”. 30 laki semua.
Kebalikan dengan di negara negara Western, macam di Australia misal. Mahasisa laki sedikit, tapi mahasiswinya perempuan banyak, dominan.
Kembali ke Tini.
Seingatku Tini tak menyelesaikan studynya di SSRI. Yanti malah selesai dan melanjutkan ke STSRI.
Tini berumah tangga di usianya yang masih muda waktu itu.
Ini umumnya, ceritera umumnya atau nasib umumnya. Bila ada perupa (juga profesi lainnya) perempuan muda, lalu berumah tangga. Jadi ibu. Maka habis sudah kariernya.
Mudah dianalisa secara sosiologis, dimana di Indonesia dominasi sistim Patriakat begitu dominan.
Namun lain bagi.Tini.
Tini itu fenomenal.
Dimana dulu teman temannya di SSRI perupa lelaki segenerasinya banyak masih empot empotan berkarier. Tini bagai meteor, bahkan “bintang” dalam kelangkaan pelukis perempuan.
Tini, tak patah arang untuk menjadi Seniman dengan huruf “S” (besar). Meski menyandang sebagai seorang ibu.
Lukisan lukisan Tini berukuran besar besar.
Ini seperti ingin membuktikan, bahwa aku perempuan perkasa.
Teknisnya “nj’limet” (sangat detail).
Gaya lukisan Tini, Surialisme.
Dan gaya lukisan surialisme Tini, “menyimpang” dari umumnya gaya Surialisme dari gaya Surialisme model Jogja umumnya yang (maaf) “anak pinak” model Salvador Dali.
Setidaknya dalam penyimpangan Tini, terlihat dalam detail, diisi tatanan, tumpukan, lapisan garis garis berkumparan. Bergelombang penuh gelora.
Gelora dari jiwa Tini, perempuan Jawa yang kalem dan tampak lembut dikeseharian pergaulan.
Tini kerap menggambarkan obyek obyek pemandangan ruang angkasa, alam semesta dalam lukisan lukisan Tini yang menjulangkan dan mengukuhkan sebagai Seniman.
Dalam satu wawancara denganku berpuluh tahun di studio. Masih kuingat.
Lukisan lukisan berspiral, pusaran pusaran yang menggambarkan ruang angkasa itu, bukan dari dunia Allien. Dunia absurditas ruang angkasa sepenuhnya.
Namun inspirasinya itu datang dari Tini, Tini seorang Ibu yang mungkin sederhana.
“Saat aku menyusui anakku, atau tengah menidurkannya. “Unyeng unyeng” (mata pusaran rambut di kepala), adalah pemandangan keseharianku. Dari unyeng unyeng itulah imajinasiku melayang hingga ke ruang angkasa”
Aku tau kau Tini, “keperempuanmu ke ibuanmu” menjadikan berlipat ganda dalam berjuang untuk disebut Seniman perempuan di dunia Lelaki.
“Jika saja sehari lebih dari 24 jam. 40 jam misal.
Aku akan tetap memakainya untuk melukis” -Tini
Selamat jalan Tini
Tidur tenang dalam keabadian
Foto: Nisan Kristiyanto