LUCIA HARTINI DARI DAPUR KE AWANG-AWANG

Mengakhiri interview panjang saya dengan Lucia Hartini, di studionya tahun 1999, saya tanyakan apa yang menjadi ancaman terbesarnya? Bukan kematian jawabnya. Ia sebagaimana orang Jawa, memegang filosofi ‘urip mung mampir ngombe’. Dan dia merasa sudah sedikit minum, sekarang tinggal menunggu pulang. Dan hari ini, seperempat abad lebih setahun, ia berpulang

Lucia Hartini, seorang perempuan yang bisa melesat dari dapur ke awang-awang.

Hari ini, Butet Kartaredjasa mengabarkan Lucia Hartini meninggal dunia (27/8/2025). Perempuan pelukis Indonesia yang penting (kelahiran Temanggung 10 Januari 1959) itu, salah satu narsum buku ‘Menemu Dunia, 10 Yang Berkarya’ (SW, Semesta, Oktober 1999). Artinya ada 4 dari 10 anak-anak muda Yogya terkemuka waktu itu yang telah wafat. Sebelumnya, Sapto Rahardjo (musisi), Heru Kesawa Murti (teater), dan Bondan Nusantara (teater tradisional, kethoprak).

Memperingati kejatuhan Soeharto, dengan dukungan Ford Foundation waktu itu, saya membuat kegiatan mendokumentasikan kegiatan Kesenian Indonesia paska Orde Baru. Selain diskusi dan pameran, juga menerbitkan buku, memberi ruang kepada seniman-seniman muda, untuk perbandingan dari dominasi ‘tokoh tua’. Di luar 4 yang sudah meninggal, yang lain (masih hidup) adalah Butet Kartaredjasa, Didid Adi Dananto, Dorothea Rosa Herliani, Felix Blass, Heri Dono, dan Arief Dagadu.

Lucia Hartini, seorang perempuan yang bisa melesat dari dapur ke awang-awang. Lukisan-lukisannya di atas kanvas, dalam ukuran-ukuran besar, dengan konsistensinya yang tinggi pada imaji-imaji psikisnya. Kanvas-kanvas lukisan Lucia adalah surealisme keruangan yang tak terbatas. Ia serasa tak pernah berakhir pada cakrawala. Sesuatu yang bisa jadi menampakkan paradoks dari sisi kehidupannya.

Route kesehariannya, dari dapur, ruang tamu, ruang makan, studio lukisnya, ke dapur lagi. Maka, bukan kematian, tetapi ancaman yang menakutkannya adalah ‘kalau gila seperti yang kemarin itu’, merasa tidak mendapatkan jalan. “… sampai mati tidak mendapatkan jalan. Itu hidup yang menakutkan buat saya,” kata Lucia.

Setelah drop-out dari SSRI/SMSR, Lucia menetap di Yogya. Namun dalam era yang disebutnya ‘bampet’, buntu, sampai tak ingat lukisannya sendiri (antara tahun 1986-1989), ia memutuskan pulang ke tanah kelahiran, Temanggung, bersama anak-anaknya. Hanya untuk melamun.

Meski begitu, di Temanggung, ia terus melukis, sambil sakit katanya. Lewat melukis itulah, ia menemukan jalannya. Jejak perjalanannya terpetakan dalam kanvas-kanvas lukisan, di mana sesiapa pun yang mau ikut menyelaminya, seolah mendapat tautan spiritualitas pelukisnya.

Selamat jalan, terimakasih Lucia Hartini. | Sunardian Wirodono

Total
0
Share
error: Content is protected !!