Membongkar Mafia Gas Elpiji Bali (Bagian Kedua)

AJIK PANTAU

Sepekan ini saya keliling empat kabupaten : Gianyar, Badung, Denpasar, Tabanan. Dari ujung timur Siyut, Bongkasa hingga ke Selemadeg dan Marga. Saya bertanya langsung kepada pengecer gas. Ternyata distribusi gas melon sepekan ini relatif lancar. Saya juga temukan mobil bak terbuka wara wiri menurunkan gas melon di warung-warung. Ternyata istilah ‘’no viral no justice’’ manjur. Polisi bergerak (walau baru menangkap pemain kelas teri). Terpenting, para pengoplos melepas gas melon di pasaran. Mereka juga tiarap. Sejumlah gudang pengoplos selama sepekan ini sepi. Tak ada kegiatan.

Sepekan saya menemui sejumlah orang yang mengerti soal seluk beluk ‘’black market’’ gas oplosan. Ada yang mantan terpidana. Ada pengelola SPBE. Ada keluarga dan kerabat pengoplos. Tujuh orang saya dalami informasinya. Dua tiga orang dengan sukarela mengantar saya ke titik-titik lokasi oplosan yang saat ini mati suri. Orang-orang ini pernah jadi pemain. Namun sudah sadar dan kembali ke jalan yang benar. ‘’Saya kapok pak. Untuk bisa keluar dari penjara, saya harus menjual tanah saya. Diperas sana sini, masuk penjara juga,’’ ujar salah satu sumber dari kawasan Badung Utara.

Untuk memahami proses pengoplosan, kita mesti paham mata rantai distribusi gas melon. Pihak Pertamina akan meminta pihak SPBE mengambil gas dengan truk tangkinya di Depo Pertamina. Jumlah volume gas yang diangkut berdasarkan pesanan sejumlah agen yang bernaung di bawah SPBE tersebut. Nanti Pertamina akan menerbitkan Delivery Order kepada agen untuk pengambilan gas di SPBE. Berdasarkan DO itulah SPBE mengisi tabung gas (melon). Agen – dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas – akan mengangkut gas dengan truknya ke gudang agen. Untuk jasa pengangkutan ini, Pertamina mensubsidi Rp 3 juta per truk kepada agen. Agen membeli gas ke Pertamina seharga Rp 11.585 per tabung melon, lalu menjual Rp 16.000 ke pangkalan. Pangkalan menjual langsung ke konsumen Rp 18.000 (Harga Eceran Tertinggi). Namun jika ke sub pangkalan maka harga bisa jatuh di harga Rp 20 ribu per tabung ke konsumen.

Potensi paling besar hilangnya gas melon terjadi di mata rantai agen. Seharusnya pangkalan membuat laporan penerimaan gas dari agen lalu melaporkan ke Pertamina. Dari sini Pertamina paham apakah distribusinya sesuai ke bawah atau tidak. Namun dari 132 agen gas melon sejumlah diantaranya nakal. Mereka ada yang membuat pangkalan langsung sendiri. Parahnya laporan ke Pertamina dibuat agen sehingga sering direkayasa. Inilah yang menjelaskan : jika jatah ke agen 15 truk sangat mungkin 5 truk tidak turun ke bawah sehingga langka. Kemana lima truk (satu truk 560 tabung). Pertama, bisa jadi oknum agen nakal yang membawa ke gudang lalu mengoplosnya ke tabung 12 dan 50 kg. Kedua, bisa jadi diberikan oknum aparat, eksekutif dan legislatif (itu sebabnya kenapa acapkali ada pasar murah gas melon oleh kelompok ini). Saya belum memiliki data apakah kelompok berdasi ini ikut jadi aktor pengoplosan. Ketiga, atas tekanan oknum aparat dan margin harga, jatah itu dijual ke pengoplos besar dengan harga di atas Rp 16 ribu sehingga margin keuntungan agen sangat besar.

Sebetulnya jika Pertamina dan Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota serius membantu masyarakat, di tahap ini pengawasan dilakukan. Mereka bisa mengecek aliran distribusi gas ke pangkalan dan sub pangkalan tiap agen di wilayah kerjanya. Apakah jatah 15 truk tadi turun sepenuhnya ke masyarakat (lewat pangkalan) atau tidak. Mekanisme jadi tak jalan jika oknumnya menerima uang tutup mulut (upeti). Pertamina juga mengambil sampel sejumlah pangkalan untuk memastikan distribusi sesuai dengan daftar yang dilaporkan.

Pemain besar yang kekurangan jatah dan/atau pemain amatir yang tertangkap di sana-sini membeli gas melon untuk dioplos di pangkalan atau pengecer. Terutama pemain amatir, mereka tak punya akses ke agen. Itu sebabnya yang ditangkap barang buktinya tak terlalu besar.
Jatah gas melon se-Bali 266.000 tabung per hari. Jatah ini diturunkan di 16 SPBE yang melayani gas subsidi dari 20 SPBE. Jumlah agen 123 dengan jumlah pangkalan 4.792. Apabila ada gas 12 kg yang dijual dengan harga di bawah Rp 190 ribu dapat dipastikan oplosan. Harga resmi dari agen Rp 192 ribu dan di pengecer/sub pangkalan mencapai Rp 205 ribu. Apabila 60 ribu per hari dari 266 ribu tabung melon dioplos oleh oknum agen lalu hasil oplosan 12 kg dijual Rp 170 ribu, maka margin keuntungan per tabung 12 kg = 170.000 – (4x 11.585) = 123.660. Total keuntungan kotor atas pengoplosan 60 ribu gas di seluruh Bali = 60.000 : 4 x Rp 123.660 = Rp 1.854.900.000. Kerugian negara atas pengoplosan 60 ribu tabung ini, uang subsidi sejumlah Rp 1,854 milyar itu tidak jatuh ke penerima manfaat subsidi ( KK miskin), dan pajak sejumlah Rp 19.900 x 15 ribu tabung = Rp 298,5 juta tak masuk ke kas negara. Yang paling penting rakyat banyak amat menderita karena kebutuhan gas menguasai hajat hidup orang banyak.

Soal beking? Sejumlah sumber menjelaskan bahwa aparat dari level bawah sampai atas menerima setoran yang cukup fantastik. Oplosan Singapadu yang digerebek Mabes Polri, sumber kerabat pengoplos menjelakan bahwa pihaknya menyetor upeti Rp 350 juta per bulan untuk pengamanan di semua level (kabupaten, provinsi dan pusat).

Siapa yang salah? Pertamina bersalah karena tidak serius mengontrol (atau oknumnya kecipratan). Sangat mudah mengontrol. Tinggal mensurvei tiap pekan 20 persen sampel pangkalan dan memastikan distribusi sesuai dengan list yang masuk. Saya percaya ini tak dilakukan. Gubernur, Bupati, Walikota melalui Kadis Perdagangan masing-masing juga juga bersalah. Tidak melakukan kontrol yang sama (harusnya mereka punya daftar pangkalan di wilayah masing-masing dan melakukan kontrol distribusi). Aparat kepolisian juga salah. Tak harus menunggu laporan. Tatkala gas langka maka jaringan intelijen gampang menelusuri. Cek di pengecer yang menjual gas 12 kg di bawah harga Rp 190 ribu. Dari sana bisa ditelusuri ke atas di mana mereka mengoplos (atau juga oknumnya kecipratan bau gas?). Masyarakat juga salah karena tak peduli. Jika krama adat bersatu sangat bisa dicegah pengoplosan. Krama tinggal peduli mengecek dan membuntuti jika ada mobil atau truk yang lalu lalang di wilayahnya membawa gas 3 kg, 12 kg dan 50 kg serta mobil es balok yang kerap melintas. Ikuti saja pasti ketemu lokasinya. Lalu gerebek bersama-sama baru lapor polisi. Jangan lapor dulu karena sangat mungkin ada oknum aparat yang jadi beking.

Lengkapnya? Tunggu info dari saya siang ini. Bantu saya melawan mafia dengan menshare status ini karena “no viral no justice!”
@sorotan
Pertamina Bali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Total
0
Share
error: Content is protected !!