Siapa sangka, seorang siswa kelas 10 bisa menjadi pemicu gelombang perubahan besar di Nepal. Dialah Avishkar Raut (kadang ditulis Abiskar), seorang head boy dari Holy Bell English Secondary School di Jhapa, yang pidato membara-nya menyulut api perlawanan generasi muda negeri itu.
Pidato yang Mengguncang
Pada acara sekolahnya Maret lalu, Avishkar tidak membawakan pidato biasa. Dengan energi yang menyala-nyala dan suara lantang, ia menyoroti borok-borok Nepal: korupsi, pengangguran, dan ketidakadilan sosial. Kata-katanya tajam dan penuh gairah, mengajak anak muda untuk bangkit menjadi “nyala api penerang kegelapan” dan “badai penyapu ketidakadilan”.
Rekaman pidato berjudul “Jai Nepal” itu pun menyebar bak virus. Tidak hanya di lingkungan sekolah, tapi meledak di media sosial dan menjadi buah bibir anak muda Nepal.
Dari Viral jadi Gerakan Nyata
Pidato Avishkar ternyata bukan sekadar kata-kata. Ia menjadi katalisator bagi kemarahan yang selama ini tertahan. Gen Z Nepal bergerak. Unjuk rasa besar-besaran pecah di ibu kota, Kathmandu. Mereka menuntut reformasi dan pemberantasan korupsi yang tuntas.
Enam bulan setelah pidatonya viral, Avishkar tidak hilang. Ia justru terlihat di garis depan demonstrasi, menjadi simbol dan penyambung lidah bagi ribuan pemuda yang hakan perubahan.
Dampak yang Tidak Main-main
Tekanan dari gerakan yang dipicu oleh satu pidato ini akhirnya menuai hasil yang nyata. Gelombang protes yang masif disebut-sebut menjadi salah satu pendorong lengsernya Perdana Menteri KP Sharma Oli dan beberapa pejabat tinggi lainnya.
Avishkar Raut membuktikan bahwa suara anak muda, sekecil apa pun, punya kekuatan untuk mengguncang takhta dan mengubah arah negeri. Sebuah simbol kebangkitan yang lahir dari keberanian untuk bersuara.