jewel, nature, singapore, airport, changi, center, commercial, asia, design, travels, architecture, waterfall, cover, art, jungle, forest, train

ROJALI di Orchard, ROHALUS di Tunjungan

oleh Akhyari Hananto

Singapura yang kaya raya pun bisa tergelincir. Februari lalu penjualan ritelnya jatuh 6,7 persen. Angka itu bukan sekadar fluktuasi bulanan. Itu tamparan keras. Januari sempat naik 5,1 persen, tapi hanya karena Imlek jatuh lebih awal. Begitu pesta usai, Februari seperti kota yang kehilangan denyut.

Jalan Orchard tetap terang, tapi toko-tokonya sepi. Total penjualan hanya 3,2 miliar dolar Singapura. Untuk ukuran negara kota yang “hidup” dari belanja, itu seperti satu bulan ekonomi yang lenyap.

Inilah rapuhnya Singapura. Negeri yang jadi kiblat belanja Asia Tenggara ternyata tak punya bantalan tebal. Tanpa turis, tanpa pesta, langsung megap-megap. Sektor sepatu dan pakaian ambruk hampir 20 persen.

Yang sedikit tumbuh hanya kacamata dan buku, seakan orang lebih sibuk menatap layar atau mengisi waktu dengan membaca. E-commerce kini menyumbang hampir 15 persen penjualan, menjadi satu-satunya penyelamat. Orchard Road makin mirip etalase museum: banyak yg berkunjung, tapi minim transaksi.

Lebih suram lagi, denyut malamnya ikut meredup. Bar kosong, harga minuman selangit, transportasi umum berhenti dini hari. Turis kecewa, anak muda memilih pulang lebih cepat. Banyak bar legendaris menutup pintu. Padahal nightlife adalah wajah “nakal” yang membuat Singapura hidup 24 jam.

Kini kota yang dulu disebut tak pernah tidur, justru lebih cepat tidur daripada Jakarta. Para pakar sudah memperingatkan: bila nightlife mati, daya tarik turis ikut pudar.

Pemerintah Singapura mencoba menutup celah itu dengan proyek besar. Formula 1 tetap jadi andalan. Mandai Rejuvenation Project dijanjikan membawa atraksi baru. Orchard Road juga sedang digadang-gadang berubah jadi destinasi gaya hidup, bukan sekadar tempat belanja.

Tapi proyek besar hanya mengisi kalender. Kalau denyut malam dan belanja sehari-hari tidak pulih, pesonanya tetap mudah luntur. Kota dunia tidak bisa hidup hanya dari event besar.

Indonesia memang belum segemerlap Singapura, tapi gejalanya mirip. Pertumbuhan ritel kita di pertengahan 2025 hanya 1,3 persen. Indeks Penjualan Riil Januari naik tipis 0,4 persen. Hampir stagnan. Gerai besar berguguran: Matahari, Bata, GS Supermarket asal Korea. Okupansi mal turun jadi 80 persen. Menteri Perdagangan sendiri mengakuinya. Ia bahkan menyebut mal dan pasar kini sering tampak “sepi bak kuburan”.

Penyebabnya sama: belanja pindah ke digital. Menurut BPS, sudah sepertiga penduduk usia produktif rutin pakai e-commerce. Aktivitas perdagangan digital kini menembus 37 persen. Konsumen tidak lagi belanja bulanan besar-besaran di mal. Mereka belanja harian, seperlunya, dekat rumah. Bahkan di pasar rakyat, yang tampak sepi, transaksinya tetap besar—hanya saja sudah berpindah ke online.

Mendag mencoba menawarkan solusi: hybrid retail. Fisik tetap ada, tapi harus bisa melayani online. Bahkan pasar tradisional pun didorong ke arah sana. Kalau mal dan toko besar hanya jadi tempat jualan barang, katanya, mereka akan ditinggalkan.

Tapi kenyataannya, banyak mal tetap dibangun besar-besaran. Investor masih percaya luas lantai bisa menyelamatkan. Padahal lantai makin luas, toko makin kosong. Ironi yang sama dengan Orchard. Dunia sudah pindah ke layar enam inci, tapi pengusaha masih sibuk menghitung meter persegi.

Di Surabaya, Tunjungan Plaza dari luar gagah. Parkiran sesak, pun susah sekali nyari parkiran kalau wiken. Begitu masuk, pengunjung mall memang penuh, namun toko-toko banyak yang lengang. Hanya food court, bioskop, dan playground yang ramai. Mal besar yang dulu simbol belanja, kini jadi pusat jalan-jalan. Dari tempat menguras dompet jadi tempat menghabiskan waktu.

Fenomena ini bahkan sudah punya istilah khas. ROJALI: Rombongan Jarang Beli. ROHANA: Rombongan Hanya Nanya. ROHALI: Rombongan Hanya Lihat-lihat. ROHALUS: Rombongan Hanya Elus-elus. Istilah ini lahir dari keseharian orang Indonesia. Tapi kini bisa dipakai lintas negara. Orchard penuh ROJALI. Tunjungan penuh ROHALUS. Sama-sama ramai. Sama-sama sepi.

Yang lebih tajam lagi: ini bukan sekadar soal belanja. Ini perubahan peradaban konsumsi. Mal dibangun dengan filosofi lama: orang datang, lihat barang, beli barang, bawa pulang. E-commerce menghancurkan rumus itu. Orang datang ke mal untuk jalan-jalan, lalu pulangnya pesan lewat aplikasi. Lebih murah. Bisa cicilan. Gratis ongkir.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Total
0
Share
error: Content is protected !!