Orang pintar pun bisa mencari-cari alasan untuk membenarkan keputusan buruk. Itu bukan karena mereka bodoh, melainkan karena otak benci merasa salah. Leon Festinger, psikolog sosial, menyebut fenomena ini disonansi kognitif: ketegangan batin yang timbul saat keyakinan dan perilaku bertentangan. Fakta menariknya, penelitian menunjukkan bahwa manusia cenderung mengubah pikirannya lebih cepat daripada mengubah perilakunya agar ketidaknyamanan itu hilang. Inilah yang membuat kita terus berada dalam hubungan yang salah, mempertahankan kebiasaan buruk, atau menolak bukti yang meruntuhkan kepercayaan lama.
Ketidaknyamanan ini bisa terasa kecil seperti rasa bersalah setelah makan junk food saat sedang diet, atau sebesar menolak fakta ilmiah yang bertentangan dengan keyakinan ideologis. Disonansi kognitif adalah mekanisme psikologis yang menjelaskan kenapa kita sering lebih memilih “damai” daripada kebenaran, meski pada akhirnya bisa merugikan diri sendiri.
- Mengubah Keyakinan untuk Merasa Benar
Salah satu cara paling umum mengurangi disonansi adalah dengan mengubah keyakinan agar sesuai dengan perilaku. Seorang perokok yang tahu merokok berbahaya bisa berkata pada dirinya sendiri bahwa “hidup pendek itu wajar” atau “kakek saya merokok sampai umur 90 tahun.” Dengan begitu, ketegangan di dalam diri berkurang.
Mekanisme ini terlihat di banyak bidang kehidupan. Orang yang bekerja di tempat yang bertentangan dengan nilai-nilainya bisa membenarkan dengan berkata bahwa pekerjaan itu memberi makan keluarga. Secara psikologis, ini membantu mereka tetap berfungsi meski ada konflik batin.
Penting untuk menyadari pola ini. Dengan sadar, kita bisa berhenti memanipulasi keyakinan hanya demi merasa nyaman dan mulai mengevaluasi perilaku. Di LogikaFilsuf, kami membahas cara membangun keberanian mental untuk menghadapi kebenaran tanpa lari dari rasa tidak nyaman.
- Mencari Informasi yang Mendukung
Fenomena confirmation bias erat kaitannya dengan disonansi kognitif. Saat keyakinan kita ditantang, kita cenderung mencari data yang mendukung posisi kita dan menolak informasi yang bertentangan.
Contoh nyata terlihat saat seseorang sudah yakin dengan pilihan politiknya. Mereka akan lebih banyak membaca berita yang menguatkan pandangan mereka, dan menghindari media yang menantang keyakinan tersebut.
Cara ini memang membuat kita merasa aman, tetapi membatasi perkembangan intelektual. Belajar menerima informasi yang berbeda bisa memperkaya perspektif dan membantu kita membuat keputusan yang lebih matang.
- Meremehkan Bukti yang Bertentangan
Jika kita tidak bisa mengubah keyakinan, kita sering kali meremehkan bukti yang tidak sesuai. Seorang investor yang rugi karena salah ambil saham bisa berkata “pasar memang sedang buruk” daripada mengakui bahwa ia salah strategi.
Hal ini terlihat juga dalam hubungan personal. Saat pasangan menunjukkan tanda-tanda toxic, seseorang bisa menolak mengakuinya dengan berkata bahwa itu hanya fase. Padahal, mengabaikan tanda-tanda bahaya bisa memperburuk situasi.
Menghadapi kenyataan memang menantang, tetapi justru itulah langkah pertama untuk memperbaiki keadaan.
- Menambah Keyakinan Baru untuk Menenangkan Diri
Strategi lain yang sering digunakan adalah menambahkan keyakinan baru agar konflik batin terasa lebih ringan. Misalnya, seseorang yang menghabiskan uang untuk barang mahal bisa berkata bahwa pembelian itu akan memotivasi mereka bekerja lebih keras.
Secara psikologis, ini seperti memberi bantal empuk pada kursi yang keras. Ketidaknyamanan masih ada, tetapi terasa lebih bisa diterima.
Strategi ini bisa sehat jika diarahkan dengan tepat, misalnya menggunakan rasa bersalah sebagai pemicu perubahan positif, bukan sekadar pembenaran semu.
- Mengubah Perilaku agar Sejalan dengan Keyakinan
Ini adalah cara paling konstruktif untuk mengurangi disonansi, tetapi juga yang paling sulit. Mengubah perilaku berarti keluar dari zona nyaman dan menghadapi konsekuensi nyata.
Contoh sederhana adalah orang yang sadar ia sering menunda pekerjaan, lalu benar-benar membuat jadwal baru dan menaatinya. Rasa tidak nyaman perlahan hilang karena perilaku kini sesuai dengan nilai yang diyakini.
Mengambil langkah konkret kecil bisa menjadi titik awal, karena perubahan besar sering dimulai dari keputusan-keputusan sederhana yang dilakukan konsisten.
- Menormalkan Perilaku yang Bertentangan
Kadang kita mengurangi disonansi dengan menganggap perilaku kita normal karena semua orang melakukannya. “Semua orang curang sedikit” adalah pembenaran klasik untuk perilaku yang sebenarnya tidak etis.
Sosial media memperkuat mekanisme ini karena kita bisa dengan mudah menemukan komunitas yang memiliki perilaku serupa. Ini membuat kita merasa benar meski secara moral mungkin tidak.
Menyadari normalisasi palsu membantu kita berpikir lebih kritis dan tidak ikut-ikutan hanya karena mayoritas melakukannya.
- Menghindari Situasi Pemicu
Cara lain adalah menghindari situasi yang bisa memunculkan disonansi. Misalnya, seseorang yang tidak ingin merasa bersalah atas gaya hidupnya mungkin menjauh dari teman-teman yang lebih disiplin.
Ini menciptakan kenyamanan jangka pendek tetapi menghambat pertumbuhan. Dengan terus menghindar, kita kehilangan kesempatan untuk belajar dan berkembang.
Lebih sehat jika kita berani menghadapi pemicu itu, karena ketidaknyamanan adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki.
Teori disonansi kognitif mengajarkan bahwa rasa tidak nyaman adalah peluang untuk berevolusi, bukan hanya sesuatu yang harus dihindari. Menurutmu, kapan terakhir kali kamu merasa terganggu karena keyakinanmu bertentangan dengan tindakanmu? Tulis di kolom komentar dan bagikan tulisan ini agar lebih banyak orang bisa memahami cara menghadapi konflik batin dengan sehat.