Jakarta – Sebuah kebijakan donasi penanganan banjir bagi guru dan staf sekolah se-Bali menuai kontroversi. Alih-alih sukarela, besaran sumbangan justru telah dipatok berdasarkan golongan, mulai dari Rp 150 ribu untuk staf golongan I hingga Rp 1,25 juta untuk kepala sekolah.
Yang membuatnya semakin mengundang tanya, instruksi ini tidak dituangkan dalam surat edaran resmi, melainkan hanya disampaikan secara lisan dalam rapat. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan pemaksaan terselubung, meski Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan sifatnya sukarela.
“Wajar dong, karena pendapatan masing-masing pegawai berbeda. Saya saja memberi Rp 50 juta, ini soal kerelaan. Kalau tidak sesuai nominal juga tidak apa-apa,” kata Koster membela kebijakan ini.
Koster menegaskan hal ini tidak perlu dijadikan masalah. Sebab, merupakan bentuk kepedulian kemanusiaan. “Nggak perlu SK, ngapain ribet. Itu OJK dan BPD kasih bantuan nggak pakai SK, nggak pakai permintaan, iya semua juga gotong royong,” tutur dia.
Koster juga menyampaikan alasan tidak menggunakan dana penanggulangan bencana dari Pungutan Wisatawan Asing (PWA). “Peruntukannya untuk budaya dan lingkungan. Sudah ada peruntukannya sendiri untuk desa adat,” tandasnya.
Informasi yang diperoleh SINERGI, nominal donasi yang ditetapkan berbeda-beda, tergantung jabatan dan golongan. Berikut rinciannya:
Kepala Sekolah. : Rp 1,25 juta
Guru Ahli Utama. : Rp 1,25 juta
Jafung Muda. : Rp 1,1 juta
Guru Ahli Madya. : Rp 1 juta
Guru Ahli Muda. : Rp 500 ribu
Guru Ahli Pertama. : Rp 300 ribu
Staf Golongan I. : Rp 100 ribu
Staf Golongan II. : Rp 200 ribu
Staf Golongan III. : Rp 300 ribu
PPPK. : Rp 150 ribu.
Namun, para pengamat kebijakan publik menilai langkah ini berisiko. “Tanpa transparansi dan dasar hukum yang jelas, seperti SK, program seperti ini rentan disalahartikan dan menimbulkan beban psikologis bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan,” ujar seorang analis kebijakan