Blue tuk-tuk drives through red ornate gateway

Pragmatisme Cino

Kalau sampeyan memerhatikan moda berpikir orang Cino —maksudnya yang masih orisinal dengan balutan kultur dan tradisi Cino yang terjaga, bukan varian Cino gedhang (kulit kuning, isi putih)— maka sampeyan akan menemui sekurangnya dua ciri utama: historis dan pragmatis. Dua ciri ini terlihat bukan saja dalam perkara kehidupan personal sehari-hari, atau kehidupan keluarga, melainkan juga dalam urusan kenegaraan, perkara “statecraft”.

Ciri moda berpikir historis terlihat dari cara mereka memperlakukan sejarah. Ada semacam kompulsi historis, menyeret peristiwa historis masa silam sebagai referensi untuk menafsir dan memandu memahami peristiwa saat ini. Sejarah bagi mereka bukan sekadar “chronos” yang abstrak, melainkan peristiwa yang hidup, yang dapat menjadi partner dialog. Sejarah adalah semacam perpustakaan, tempat mereka mencari panduan moral, politik, atau lainnya. Mereka terbiasa melakukan jukstaposisi sejarah, menyandingkan peristiwa yang tengah terjadi dengan peristiwa historis di masa lampau. Analogi dan preseden sejarah adalah kultur mereka.

Singkat kata, mereka senantiasa bukan hanya tidak melihat satu peristiwa sebagai selembar foto, melainkan film panjang, namun juga sekaligus mencari referensi hal yang paralel atau sebanding di masa silam. Itu sebabnya mereka, dalam skala pribadi, cenderung berhemat misalnya. Mengapa? Karena sejarah mengajarkan mereka tentang peristiwa pergolakan, kekacauan, malapetaka, bencana alam, dst. yang dapat terjadi setiap saat. Atau dalam skala urusan negara, mereka berusaha tak mengulangi kesalahan dinasti Ming misalnya, ketika menghentikan ekspedisi Zheng He. Atau mereka mencari penjajaran historis lewat kisah tiga negara (Samkok) ketika suasana perang dingin segitiga antara AS-Uni Soviet-Cino, dst. Dalam konteks kontemporer misalnya, sikap Cino terhadap genosida Gaza oleh Israel atau operasi militer Rusia di Ukraina selalu bertumpu pada perspektif historis. Mereka tak melihat peristiwa 7 Oktober 2023 di Gaza, atau 24 Oktober 2022 di Ukraina, sebagai peristiwa singular yang terlepas dari peristiwa masa silam yang menjadi penyebabnya.

Sementara ciri pragmatis mudah terlihat, karena relatif mencolok. Mereka berorientasi pada hasil. Jika sampeyan bertanya kepada sembarang orang Cino tentang perkara ideologis, Marxisme, Leninisme, Maoisme, Komunisme umpamanya, atau urusan teologis seperti surga dan neraka misalnya, mereka minimal bakal kebingungan, dan maksimal tidak tahu. Sebaliknya, kalau sampeyan bertanya soal babi panggang yang lezat, dekorasi rumah, dagang, bahkan soal perkawinan, mereka akan menjawab dengan lancar. Sesuatu yang abstrak bukan hasrat mereka. Apa yang konkrit, ada hasil nyata, praktis, dan bermanfaat, itu yang menjadi panduan. Dalam perkara religi pun, mereka sangat praktis. Jika telah sembahyang di satu kuil, pada dewa tertentu, tak ada dampaknya dalam kehidupan pribadi, mereka segera beralih mencari kuil atau dewa lain. Jika berdoa kepada Rajanaga (Lóngwáng) —penguasa laut dan air— agar tak terjadi banjir, namun malah kebanjiran, mereka akan segera beralih. Bahkan kalau perlu membangun kuil Rajanaga di muara sungai, agar dia mau bekerja sungguh-sungguh sebagai dewa, apakah dia mampu mengatasi banjir yang menghantam kuilnya. Namun kini mereka telah menemukan dewa baru dalam urusan banjir ini, yakni Badan Meteorologi.

Barangkali ciri pragmatis inilah yang menjadi
alasan mengapa agama-agama semitik tak punya pasar di kalangan orang Cino yang orisinal. Mereka tak tertarik dengan pandangan praktik agama sebagai “destituent power”, misalnya memandang berdoa atau berpuasa sebagai —meminjam Giorgio Agamben— “inoperativity”, tindakan menunda atau menolak kegunaan, menunda sesuatu yang dianggap fungsional, instrumental, pragmatis, dst. Bagi mereka, apa yang penting adalah bukti. Atau memakai idiom yang sangat populer dalam sejarah mereka: carilah kebenaran lewat fakta (seek truth from facts, shí shì qiú shì). Idiom yang dipopulerkan oleh Mao, namun diambil dari idiom dan kisah Pangeran Xian, Liu De, salah satu putra Kaisar keenam Dinasti Han, Kaisar Jing, Liu Qi, di abad ke-2 SM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Total
0
Share
error: Content is protected !!