statue, wisnu, hindu, bali, temple, balinese, architecture, culture, cultural, destination, gwk, hinduism, tourism, religion, indonesia, carving, bali, gwk, gwk, gwk, gwk, gwk

The Dark Side of Cultural Park GWK

Nyoman Nuarta, GWK, Keluarga Cendana dan Reklamasi Pulau Kura-Kura

Polemik pagar beton GWK yg lagi heboh saat ini di Ungasan memang bukan lagi urusan Nyoman Nuarta. Seniman patung Garuda di kawasan IKN yang mangkrak itu juga tak peduli tuntutan warga dalam urusan pembongkaran “tembok berlin” GWK. Bagi pekak Nyoman yang kini berusia 74 tahun, ia sudah terlalu uzur untuk mikirin urusan warga lokal yang tergusur. Mungkin dipikirnya sudah ada netizen +361 yang vokal-vokal untuk urusan itu.

Saya juga tak ada urusan dengan provokasi demo bongkar “tembok besar cina” di GWK. Urusan saya dengan Nyoman Nuarta dan para investor serta pejabat elit sponsor GWK lebih terfokus pada pembongkaran sejarah berdirinya GWK yang diklaim sebagai “Cultural Park” kebanggaan ikon Pariwisata Bali dan Indonesia.

Bagi saya dan kawan-kawan yang pernah demo protes penolakan megaproyek GWK di era Orba, Nyoman Nuarta tetap masih ada urusan dosa sejarah pada kehancuran kawasan pesisir Bali Selatan akibat ambisi besarnya yang ingin meninggalkan warisan mahakarya monumental modern di Pulau Bali. Di mata Nuarta, peninggalan leluhur orang Bali seperti Pura Besakih, Tanah Lot, Prasasti Blanjong, Situs megalitik Gilimanuk tidak lagi merepresentasikan ikon atau landmark Bali untuk di jaman modern. Semua ikon itu sudah kuno dan usang. Bali perlu imajinasi baru untuk dijual ke turis Wisman dan Wisnu. Maka muncullah ide menjual mitologi Dewa Wisnu sedang menunggangi Garuda Kanchana.

Menurut cerita versi Nyoman Nuarta, gagasan awal pembuatan sebuah patung ikonik Bali sebenarnya datang dari Joop Ave, Menparpostel jaman Orba. Rencananya patung ikonik ide Joop Ave itu akan ditempatkan di Bandara Ngurah Rai sebagai patung sambutan buat turis yang mendarat di Bali. Nyoman Nuarta merespons ide Joop Ave itu dengan gagasan lebih besar: Menciptakan patung raksasa yang monumental sebagai ikon pariwisata Bali dan Indonesia. Nuarta lalu memberi rujukan pada karya monumen ikonik negara Singapore, patung Singa Merlion Park, untuk ditiru.

Pada postingan sebelumnya saya sudah mengungkapkan sedikit bagaimana hubungan ide GWK Nyoman Nuarta dengan ekspansi bisnis pariwisata keluarga jenderal junta militer Orde Baru di Bali. Di bawah ini saya coba detilkan lagi kisah sejarahnya, yang banyak tak diketahui generasi milenial dan Gen Z di Bali.

Tahun 1990 bapak oli pembangunan Soeharto memback-up penuh gagasan pembangunan GWK dari Nyoman Nuarta dan Joop Ave dengan meneken sebuah “Katabelece” sakti mandraguna. Nota sakti yang turun dari Presiden Soeharto saat itu membuat semua pejabat pusat dan di Bali langsung mengkerut biji telornya. Gubernur Bali saat itu, Ida Bagus Oka, yang juga pemimpin golkarisasi Bali langsung memberi kode “CGT” pada Nuarta cs dan menggelar karpet merah birokrasi buat Nyoman Nuarta dan Yayasan GWKnya untuk memulai eksekusi di lapangan.

Tapi ingat, katabelece Pak Harto untuk GWK bukannya gratis kayak megaproyek makan siang beracun ex menantunya sekarang. Pak Harto meminta Nyoman Nuarta wajib bersinergi dengan megaproyek anak bungsu kesayangannya, Hutomo Mandala Putra, yang sedang merancang niat mencaplok lahan warga lokal buat sebuah proyek pariwisata raksasa juga di Bali Selatan: Reklamasi Pulau Serangan.

Tahun 93-94 reklamasi pulau Serangan pun mulai dijalankan, bersamaan dengan dimulainya aksi vandalisme lingkungan yaitu peledakan dan mutilasi bukit limestone di kawasan GWK. Dari mana material utama untuk menguruk proyek reklamasi Pulau Serangan? Saya tentu tak perlu jelaskan lagi. Pembaca pasti sudah paham alur dan circle “sinergitas” dua megaproyek itu.

Dampak kerusakan lingkungan pantai dan pesisir Bali Selatan akibat reklamasi Pulau Serangan begitu menghancurkan, terutama di pesisir mulai Sanur Denpasar hingga ke pantai-pantai di pesisir Gianyar. Abrasi pantai dan kerusakan lansekap pesisir Bali Selatan bisa ditanyakan langsung pada warga Bali yang tinggal di wilayah tersebut. Jika dinilai dengan rupiah, biaya kerusakan dan dampak lingkungan di sepanjang pesisir Bali Selatan mungkin lebih mahal dari kombinasi biaya yang dikeluarkan investor untuk megaproyek GWK dan Pulau Kura-Kura.

Nyoman Nuarta boleh mengklaim tidak ada urusan dengan pembongkaran tembok beton yg mengisolir warga Ungasan di sekitar GWK. Tapi dia tak bisa pura-pura tidak tahu dan mengelak dari urusan kehancuran lingkungan pesisir Bali Selatan akibat ide ambisiusnya itu. Di media massa Nyoman Nuarta selalu membanggakan dirinya sebagai Seniman yang punya concern pada alam lingkungan, bahwa GWK dibangun secara harmoni dengan lingkungan. Nyoman Nuarta dan para pejabat elit yang terlibat urusan GWK dan Pulau Serangan bisa saja terus berbohong dan menutup-nutupi kisah “The Dark Side of Cultural Park” GWK, tapi mereka tak bisa sepenuhnya lari dari tanggung jawab dan membungkam ingatan serta sejarah dari orang-orang yang ditindas dan menderita karena dampak megaproyek tersebut.

Kini kawasan GWK dan Pulau Serangan memang sudah sepenuhnya dikuasai oleh investor yang ber kongkalikong dengan oligarki pusat dan lokal. Sejak 2013 kawasan GWK sudah sepenuhnya dikontrol PT. Alam Sutera yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh keluarga Konglomerat The Ning King, taipan sekelas “Sembilan Naga” yang masuk list Forbes sebagai 50 individu terkaya di Indonesia. Sedangkan hasil reklamasi Pulau Serangan sudah lama dijual Tommy Soeharto kepada keluarga Konglomerat Sjamsul Nursalim, taipan Grup Gajah Tunggal, pemilik pabrik ban terbesar di Asia Tenggara yang pernah jadi buron KPK dalam kasus penggelapan dana BLBI.

Saat ini Pulau Bali sejatinya bukan lagi dituntun dan dijaga oleh mitologi “Dewata Nawa Sanga” yang diyakini oleh pemeluk Hindu Bali. Tapi sudah berubah jadi objek tontonan yang mengeruk banyak cuan dan dikendalikan oleh “Dewata Sembilan Naga” dari pusat oligarki Jakarta.

Pemimpin lokal orang Bali dan pejabat Bali sesungguhnya sudah menjadi bagian dari permainan sistem yang dikonstruksi “Dewata 9 Naga” ini melalui kaki tangan mereka di kalangan kaum feodal dan petugas parTAI.

Rakyat Bali yang awam sejarah penundukan kaum kapitalis ini sudah cukup lama dininabobokan dengan kenikmatan narasi2 mapan “Jaen idup di Bali” atau “Bali terkenal di seluruh dunia” dan “Bali Beautiful People.” Narasi-narasi besar penuh sanjungan itu membuat kepala orang Bali jadi gede, perut gede, lengan gede, tapi dompetnya tipis persis kayak anggota Ormas Laskar Pelangi Bali Syantik peliharaan centeng politik. Kuukkks 😛

(RBH)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Total
0
Share
error: Content is protected !!