Menunggu Tantrum Trump

Pada rezim Trump 1.0 (2017-2021), perang dagang yang dilancarkannya membuat Cino kelabakan. Saat itu Beijing lengah. Hampir 67% ekspor Cino ke AS terhimpit tarif tinggi yang menghantam ribuan kategori produk dari ribuan eksportir lokal. Dampaknya luar biasa. Pertumbuhan ekonomi melambat, meningkatkan utang domestik, menambah tekanan krisis properti yang tengah dihadapi, arus kapital keluar, dst. Respon Beijing, karena tak siap, sangat terbatas dan reaktif. Mereka memukul balik sektor pertanian dan peternakan AS: kedelai, jagung, sorgum dan babi. Plus wiski. Apa dampaknya bagi petani AS? Katastrofi! Cino adalah importir kedelai terbesar dunia (sekitar 61% dari total produksi kedelai dunia), juga importir terbesar di dunia untuk jagung, sorgum dan daging babi.

Sektor pertanian AS yang berpusat di wilayah mid-west (Iowa, Illinois, Ohio, Minesotta, Indiana, Nebraska) terpuruk. Mayoritas produk mereka diekspor ke Cino. Balasan Cino ini memaksa Trump harus melakukan kebijakan “bail-out”, menyelamatkan para petani itu yang telah memilihnya memasuki Gedung Putih. Lebih dari USD20 miliar duit talangan yang digelontorkan untuk menyelamatkan petani AS. Negosiasi untuk meredakan perang dagang dengan Cino saat itu memakan waktu sekitar 18 bulan. Pihak AS, politisi veteran Robert Lighthizer yang memimpin Perwakilan Dagang AS, bertindak sebagai ketua juru runding. Sementara pihak Cino, Wakil PM ke-2 (di Cino wakil PM ada 4 orang), Li He yang mengetuai tim negosiasi. Lighthizer ini adalah orang yang pernah memberi peringatan agar AS menolak Cino masuk ke dalam WTO. Perundingan yang sengit lebih dari setahun itu, dapat dibaca dalam buku karya Lighthizer sendiri, yang terbit dua tahun silam, “No Trade is Free”.

Bagaimana dengan perang dagang periode Trump 2.0 saat ini? Cino sudah lebih dari siap. Tak ada lagi momen “rabbit in the headlights”. Mereka sudah tahu bakal terjadi. Kini Beijing sudah tak bisa didikte. Sebelum pengumuman tarif diumumkan Trump, persiapan di Cino telah dimulai. Kebijakan domestik seperti memangkas pembiayaan korporasi, insentif bagi konsumsi domestik, dan stabilisasi lapangan kerja, diversifikasi pasar, menenggang aturan “trans-shipment”, dst. dijalankan. Ketika tarif menghantam pada awal April 2025, Cino tak segera bereaksi. Mereka menunggu tantrum Trump dengan sabar. Strategi yang digunakan ada tiga: stimulus domestik, perluasan atau penyebaran pasar ekspor ke wilayah lain kecuali AS, dan mendikte irama eskalasi. Plus posisi yang lebih menguntungkan: cadangan devisa lebih dari USD3 triliun dan nilai tukar yuan yang stabil.

Itu sebabnya, begitu AS terus menaikkan tarif, Cina mengikuti dengan tarif yang relatif sama kenaikannya. Tak ada pintu perundingan. Namun Cino menambah pukulan: menghentikan impor produk pertanian (kedelai, sorgum, jagung) dari AS dan melarang ekspor “rare earth” ke AS dan semua negara sekutunya. Apa yang terjadi? Gedung Putih mengontak. Hanya sekitar 6 minggu, mereka mengajak berunding. Beijing yang tujuh tahun silam kelabakan dan menyerah, kini dalam posisi mendikte. Tiktok misalnya, Beijing ndak ada urusan. Itu murni urusan korporasi swasta (Bytedance). Pesannya simpel: ikuti aturan Cino dan meminta AS untuk melindungi investor asing. Produk pertanian? Cino telah mengalihkan impor kedelai, jagung, dst. ke negara lain (Brazil, Argentina, dll.) Nasib petani AS? Berulang sama seperti periode Trump pertama: terpuruk. Kini mereka menanti duit talangan, “bail-out” dari Gedung Putih.

Mengapa Cino mengimpor kedelai sangat besar? Padahal mereka juga penghasil kedelai bukan? Kedelai impor itu untuk pakan babi!

( DJT )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Total
0
Share
error: Content is protected !!