(Dari Jokowi ke Purbaya: Jangan Ulangi Kesalahan yang Sama)
Purbaya, Menteri Keuangan saat ini menjadi figur yang kian populer di mata masyarakat. Gayanya yang tidak biasa dan kebijakannya yang juga di luar kebiasaan menteri sebelumnya membuat namanya menggema. Di media sosial, ia bahkan lebih sering dibahas dibandingkan Prabowo Subianto.
Secara perlahan ia semacam menjadi idola baru bagi masyarakat. Apalagi setelah ia berani melawan Luhut. Ia mulai dipandang sebagai harapan menuju perubahan.
Dalam konteks ini, kita perlu bertanya pada diri sendiri apakah kita mendukung seorang politisi karena keberpihakannya pada rakyat atau karena sosoknya yang berbeda dari politisi lain?
Hannah Arendt memperingatkan, ketika loyalitas pada tokoh menggantikan kesetiaan pada prinsip, demokrasi berada di ujung tanduk.
Hannah Arendt dalam pemikirannya banyak menekankan pentingnya berpikir secara mandiri dalam politik. Baginya, bencana politik tidak lahir dari kejahatan besar semata, tetapi dari kepatuhan tanpa berpikir atau dukungan membabi buta terhadap individu, bukan ide atau prinsip. Ketika seseorang didukung hanya karena ia “berani” atau “melawan arus,” tanpa melihat konsistensi nilai yang dibawanya, publik sedang membuka ruang bagi repersonalisasian kekuasaan.
Purbaya Yudhi Sadewa, sebagai Menteri Keuangan, tengah naik daun. Ia tampil dengan gaya kebijakan yang populis, berpihak pada publik, menolak tekanan elite, dan bahkan secara terbuka berbeda pendapat dengan tokoh kuat seperti Luhut. Di mata banyak orang, ia menjadi antitesis dari oligarki. Namun di sinilah ujian politik kita: apakah kita mendukung Purbaya karena kebijakan dan prinsip ekonominya, atau karena ia “melawan Luhut”?
Kita pernah melihat fenomena serupa pada Joko Widodo di masa awal pemerintahannya. Ia dielu-elukan sebagai tokoh perubahan yang sederhana, bersih, dan dari luar lingkaran elite lama. Tapi seiring waktu, ketika Jokowi mulai berkompromi dengan kekuatan lama, banyak pendukung tetap diam atau bahkan membenarkan. Dukungan pada sosok lebih kuat daripada pada nilai yang dulu diusungnya. Ini persis seperti yang dikritik Arendt: hilangnya nalar kritis masyarakat dalam politik figur.
Kini, saat Purbaya mulai diangkat sebagai “harapan baru,” publik perlu berhati-hati agar tidak mengulang siklus yang sama. Mendukung karena prinsip seperti keadilan sosial, keberpihakan pada rakyat, keberanian melawan monopoli kekuasaan adalah sehat. Tapi menyanjung karena sosoknya “berani” atau “beda sendiri,” tanpa mengkritisi arah dan konsistensinya, adalah awal dari pembusukan demokrasi.
Arendt mengajarkan: berpikir adalah tindakan politik. Maka saat ini, lebih dari sebelumnya, kita dituntut untuk berpikir dan tidak sekadar percaya.