Skandal Deepfake SMAN 11 Semarang

Ancaman Penyalahgunaan Teknologi yang Mengancam Generasi Muda Semarang

Kasus penyalahgunaan kecerdasan buatan (AI) untuk membuat dan menyebarkan konten video tak senonoh kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, seorang alumni SMAN 11 Semarang bernama Chiko Radityatama Agung Putra, yang kini menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), diduga menjadi dalang di balik produksi ratusan foto dan video deepfake yang memanipulasi wajah siswi, guru, dan alumni perempuan sekolah tersebut menjadi konten sensual. Insiden yang dikenal sebagai “Skandal Smanse” ini tidak hanya merusak privasi korban, tapi juga menimbulkan trauma psikologis mendalam bagi komunitas pendidikan di Jawa Tengah.Kasus ini meledak setelah video berjudul “Skandal Smanse” beredar luas di platform media sosial, memicu kemarahan siswa dan orang tua. Hingga kini, setidaknya tujuh korban telah melaporkan kejadian ini ke Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jawa Tengah. Polda Jawa Tengah pun telah turun tangan untuk menyelidiki, sementara Undip mengancam sanksi tegas termasuk kemungkinan pemecatan bagi Chiko. Chiko sendiri telah meminta maaf melalui akun Instagram resmi sekolah, tapi permintaan maaf itu dinilai terlambat oleh banyak pihak.

Tangkapan layar korban deepfake Sman 11 Semarang

Kronologi kasus bermula sejak masa SMA Chiko, di mana ia diduga mulai memproduksi sekitar 1.100 foto dan video menggunakan teknologi deepfake. Korban tidak hanya siswi aktif, tapi juga guru perempuan dan alumni yang wajahnya diedit menjadi adegan tak senonoh. Aksi protes siswa SMAN 11 Semarang baru-baru ini menuntut keadilan dan pendampingan hukum bagi korban, menunjukkan betapa dalam luka yang ditinggalkan oleh penyalahgunaan AI ini.

Kondisi AI Saat Ini: Pedang Bermata Dua

Teknologi AI, khususnya deepfake yang mengandalkan algoritma pembelajaran mendalam (deep learning), telah berkembang pesat sejak kemunculannya pada 2017. Saat ini, AI mampu memanipulasi gambar, suara, dan video dengan tingkat realisme yang hampir sempurna, hanya dalam hitungan menit menggunakan aplikasi gratis seperti FaceApp atau tools berbasis open-source. Di Indonesia, akses ke teknologi ini semakin mudah berkat penetrasi internet yang mencapai 77% populasi, tapi ironisnya, regulasi masih tertinggal jauh.Menurut laporan VIDA (Indonesia Digital Identity), kasus penipuan deepfake di Tanah Air melonjak 1.550% antara 2022-2023, dari penipuan finansial hingga pemalsuan identitas politik. Kasus serupa dengan “Skandal Smanse” bukan yang pertama; pada 2023, deepfake Jokowi berbahasa Mandarin dan Prabowo yang menjanjikan bantuan Rp50 juta sempat viral, sementara selebriti seperti Melaney Ricardo menjadi korban iklan penurun berat badan palsu. Di lingkungan pendidikan, deepfake bahkan digunakan untuk bullying, seperti kasus siswa di Adelaide yang dikeluarkan sekolah karena memanipulasi wajah guru menjadi konten cabul—mirip dengan yang terjadi di Semarang.

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mendorong etika AI, tapi undang-undang khusus belum ada. Saat ini, pelaku deepfake hanya bisa dijerat UU ITE Pasal 27 ayat 1 tentang pencemaran nama baik atau Pasal 29 tentang distribusi konten asusila, dengan ancaman hukuman hingga 6 tahun penjara. Namun, para ahli hukum menilai ini belum komprehensif untuk menangani manipulasi AI yang semakin canggih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Total
0
Share
error: Content is protected !!