Pada konklaf tertutup untuk pemilihan Paus baru, para kardinal yang memenuhi syarat untuk dipilih dan memilih, diberi secarik kertas suara yang dapat dilipat. Pada bagian lipatan atas kertas suara itu telah tertulis kalimat “Eligo in summum Pontificem”, yang berarti “Saya memilih Pemimpin Tertinggi”. Sementara lipatan bagian bawah kosong, yang harus diisi atau ditulis oleh para kardinal itu siapa nama kolega yang dipilihnya untuk menjadi Paus baru.
Kata latin “eligo” (saya memilih), berasal dari gabungan “ex” (dari, keluar dari) dan “lego” (memilih). Kata ini pula yang menjadi akar dari kata Inggris “election” (legere). Pada kasus konklaf kardinal, mereka tahu siapa yang akan dipilihnya, wajahnya, suaranya, perkiraan kapabilitasnya, barangkali asal negaranya, dan segala atribut personal lainnya. Tentu saja, sebagaimana tindakan memilih pemimpin, mereka memiliki pertimbangan pribadi dan kolegial, privat dan publik, eklesiastik dan politik. Para kardinal itu memilih salah satu dari sekian kolega yang ada di dalam kapel yang terkunci. Artinya, secara fisik, siapa yang dipilih atau akhirnya terpilih, ada di depan mata mereka saat itu juga.
Apakah “eligo” (ex + lego) dalam konklaf itu disertai dengan “seligo” (se + lego) atau “memilih terpisah”, atau “selectio”, seleksi? Tentu saja. Menjadi seorang kardinal adalah hasil dari proses seleksi. Paus menyeleksi para uskup di suatu negara untuk dinaikkan statusnya menjadi kardinal. Sementara uskup diseleksi dan diangkat dari sekian puluh atau ratus para imam, biarawan, atau pastor. Jalur dan jenjang karir kaum klerus gereja Katolik memang demikian. Jadi proses seseorang menjadi Paus merupakan gabungan dari “seligo” (selection) dan “eligo” (election).
Bagaimana dengan proses menjadi seorang Sekretaris Jendral CPC, Partai Komunis Cino? Setali tiga uang. Seleksi dan eleksi. Mereka diseleksi dari bawah, entah dari wilayah administrasi secara berjenjang (dari daerah menuju pusat) maupun jalur karir (staf bawahan menuju birokrat papan atas atau politbiro di pusat). Selama proses itu mereka yang gagal, atau tak berprestasi, atau medioker, sudah terdepak keluar jalur. Hanya sebagian kecil yang berhasil sampai pusat. Apakah terjadi perkubuan? Sudah pasti. Mana ada dunia politik yang bebas kubu, klik, faksi, kelompok, dst.? Panggung politik itu bukan biara di pucuk gunung. Bukan itu poin pentingnya. Melainkan proses memilih pemimpin itu perlu proses seleksi yang panjang, bukan sekadar memilih (eleksi) dari sekian calon yang disodorkan entah dari mana, entah apa latar belakang dan prestasinya, entah apa isi kepalanya, dst.
Negeri jiran Malaysia menggunakan kata “pengundi” untuk konstituen yang berhak memilih pemimpin (PM atau anggota parlemen). Mereka lebih jujur dengan memakai kata “mengundi” ketimbang “memilih”, “pengundi” daripada “pemilih”. Sebab dalam demokrasi, proses elektoral itu memang lebih tepat disebut “mengundi” ketimbang “memilih”. Memang apa atau siapa yang dipilih? Para calon itu tak pernah diseleksi oleh para pemilih. Mereka disodorkan oleh oligark partai politik dan pemilik kapital. Mereka didanai oleh para pemilik modal, para cukong. Mereka dipompa menjadi gelembung popularitas oleh kapital, oleh modal, oleh duit (lewat beragam kampanye, suara pendengung dan pemengaruh). Rakyat hanya disodori kertas bergambar foto mereka yang tersenyum menjijikkan dan menyebalkan, untuk dicoblos. Rakyat tidak memilih, melainkan mengundi. Seperti mengundi lotre, seperti mengundi dadu, atau memutar rolet, atau bermain judol. Para bandar di balik layar yang menentukan.
Malaysia lebih jujur ketimbang Indonesia, dalam memakai kata untuk proses elektoral: mengundi. Kalian tak lebih dari pengundi, yang menukar nasib sekian tahun hanya dengan bansos dan kaos.