Solidaritas Cabai untuk Andalas: Ketika Inisiatif Sipil Mengungguli Birokrasi
Di tengah respons negara yang kerap lamban terhadap krisis, sebuah pesawat kargo lepas landas dari Banda Aceh dengan muatan yang tak biasa: bukan bantuan logistik darurat, melainkan berton-ton cabai segar hasil panen petani lokal yang terancam busuk. Inisiatif ini, yang dicetuskan oleh mantan Pegawai Negeri Sipil Ferry Irwandi, bukan sekadar aksi amal. Ini adalah sebuah eksperimen ekonomi nyata—sebuah model pemberdayaan yang langsung, efisien, dan menantang paradigma bantuan konvensional. Ferry, yang mengundurkan diri dari Kementerian Keuangan pada 2022 untuk sepenuhnya mengelola gerakan sosial Malaka Project, menggunakan pengalamannya memahami birokrasi dari dalam untuk menciptakan jalan pintas bagi rakyat.
Aksi menyewa pesawat untuk menyelamatkan panen cabai ini adalah puncak dari serangkaian inisiatifnya yang kerap berhadapan dengan establishment. Sebelumnya, kemampuan Ferry menggalang dana Rp 10 miliar dalam sehari untuk korban bencana justru menuai sindiran dari anggota dewan yang merasa “tersaingi”. Kontras ini mengungkap sebuah ketegangan mendasar: di satu sisi, ada mesin negara yang besar namun lamban; di sisi lain, ada kekuatan sipil yang lincah dan digerakkan oleh solidaritas langsung. Sindiran itu sendiri adalah pengakuan tak langsung atas efektivitas yang memalukan.
Logika di balik “ekonomi cabai” ini sederhana namun revolusioner. Alih-alih mendistribusikan bantuan sembako yang membuat petani tetap pasif sebagai penerima, Ferry mengangkut komoditas mereka ke pasar yang membutuhkan. Dengan menjual cabai ke Jakarta, dimana harganya tinggi, ia mengalihkan uang langsung kembali ke tangan petani. Model ini mempertahankan martabat petani sebagai produsen dan pedagang, sekaligus menyelesaikan dua masalah sekaligus: kelebihan pasokan di daerah bencana dan kekurangan pasokan di ibu kota. Ia mengubah bantuan dari charity menjadi empowerment.
Keberanian Ferry sebelumnya “mencolek” institusi seperti TNI juga menunjukkan sumber kekuatannya yang lain: kekuatan publik di era digital. Ketika berhadapan dengan tekanan, dukungan luas dari masyarakat menjadi benteng pertahanannya. Ini membuktikan bahwa dalam ekosistem saat ini, legitimasi moral dan dukungan jaringan warga bisa menjadi penyeimbang bagi kekuatan institusional yang lebih tradisional. Ferry bukan hanya seorang filantropis; ia adalah produk dan sekaligus arsitek dari bentuk kekuatan sipil baru.
Namun, kemunculan superhero sipil seperti Ferry sebenarnya adalah sinyal sistemik yang mengkhawatirkan. Ia adalah bukti bahwa sistem peringatan dini dan respons krisis negara sedang tidak berfungsi optimal. Dalam negara yang sehat, mekanisme bantuan dan pemulihan ekonomi seharusnya berjalan otomatis, tanpa memerlukan intervensi heroik individu. Kehadiran Ferry adalah cermin dari rasa haus publik terhadap negara yang lebih tangkas dan solutif. Ia adalah obat penenang sekaligus pengingat akan absennya negara di saat-saat genting.
Oleh karena itu, sorotan seharusnya tidak hanya pada pencapaian individu, melainkan pada pelajaran sistemik yang bisa diambil. Kisah ini menantang birokrasi untuk keluar dari budaya administrasi yang kaku dan berorientasi pada proses, menuju budaya yang berorientasi pada solusi nyata. Semangat gotong royong dan kelincahan gerakan sipil harus menginspirasi, bukan menggantikan, fungsi negara. Tugas kolektif kita adalah mendorong agar “kapal induk” negara bisa belajar dari “speedboat” inisiatif warga, sehingga ke depan, solidaritas untuk Andalas tidak perlu lagi diterbangkan dengan pesawat sewaan, tetapi dijalankan melalui saluran-saluran resmi yang kompeten dan penuh empati.