Dalam tradisi dan praktik farmakologi Cino yang telah berusia panjang dalam skala milenia, obat diracik dari berbagai jenis herba, disesuaikan dengan gejala penyakit yang muncul dan diagnosis yang telah ditegakkan. Beragam herba tersebut lantas direbus pada temperatur yang tepat dalam rentang waktu tertentu. Sup herba atau rebusan itulah yang disajikan sebagai obat.
Dari praktik semacam itu, muncul satu idiom yang kemudian populer dalam kultur Cino, yakni: “huàn tāng bù huàn yào” yang bermakna, mengganti (huàn) sup atau rebusan (tāng), namun tidak (bù) mengganti (huàn) obat (yào). Rebusan diganti, namun obatnya sama. Artinya, sekadar mengubah tampilan, namun tak mengubah substansi. Dalam konteks politik ekonomi dapat diartikan sebagai sekadar perubahan superfisial.
Sampeyan berharap ada perubahan tata kelola pemerintahan, namun tetap percaya dengan sistem politik dan struktur ekonomi yang sama dan sebangun, yang telah terbukti korup, tak adil, nepotis, dipenuhi jejaring kronisme, dst. Artinya? Sia-sia belaka. Obatnya (sistem, struktur, praktik) yang perlu diganti, bukan supnya (orang-orangnya, sekadar wajah baru, hanya perubahan nama personil).
Kalau tetap yakin dengan sistem politik dan struktur ekonomi yang ada, maka hanya akan berputar-putar di tempat yang sama, melakukan hal-hal yang sama dengan cara yang sama, namun —ajaibnya— berharap hasil yang berbeda. Kalau meminjam idiom dari teks “Catatan Periode Musim Semi dan Musim Gugur” (Lüshi Chūnqiū), kompilasi teks klasik dari abad ke-3 SM, yang diprakarsai oleh Lü Buwei, perdana menteri Kaisar Qin Shihuang, dikatakan sebagai (yǐ tāng zhǐ fèi), menghentikan air mendidih dalam belanga dengan menyiramkan air mendidih. Ya tambah mendidih.