Pada tanggal yang sama seperti hari ini beberapa tahun lalu, tepatnya 9 Oktober 1998, Margaretha (Ita) Martadinata Haryono berpulang. Ita terlahir pada 21 Maret 1981. Dalam sejarah selama hidupnya, ia tidak berstatus pejabat, orang penting, ataupun manusia super. Namun ia meninggal dunia karena hendak melakukan hal penting. Ita adalah salah satu korban perkosaan dari tragedi 1998 yang masih hidup saat itu. Satu diantara sekian banyak korban yang ada, dan hal penting yang merenggut nyawanya adalah keberaniannya untuk bersaksi di PBB atas kasus itu.
Keberanian Ita disokong oleh ibundanya, Wiwin Haryono. Ita dan ibunya diketahui cukup banyak terlibat dalam memberikan konseling kepada para korban kerusuhan Mei ’98. Mereka berencana akan segera berangkat ke Amerika Serikat dengan empat korban Kerusuhan Mei 1998 lainnya sebagai bagian dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan, disamping memberikan kesaksian di Sidang PBB di hadapan Kongres Amerika Serikat tentang tragedi itu. Akan tetapi semua hal tersebut gagal dilakukan.
Hanya 3 hari setelah Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan beberapa organisasi hak-hak asasi manusia lainnya mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan bahwa beberapa orang dari anggota tim ini telah menerima surat ancaman akan dibunuh bila tidak segera menghentikan bantuan mereka terhadap investigasi internasional atas perkosaan, pembunuhan, dan pembakaran atas sejumlah perempuan Tionghoa dalam Kerusuhan Mei 1998; Ita ditemukan mati dibunuh di kamarnya, di Sumur Batu Kemayoran, Jakarta Pusat. Perut, dada dan lengan kanannya ditikam hingga sepuluh kali, lehernya disayat, dan alat kelaminnya ditancap kayu. SADIS!
Pihak berwajib mendakwa Suryadi alias Otong alias Bram, sebagai pelakunya, serta mengumumkan bahwa kematian Ita hanyalah suatu kejahatan biasa, yang dilakukan oleh seorang pecandu obat bius yang ingin merampok rumah Ita, namun tertangkap basah, sehingga memutuskan membunuhnya.
Bagi saya pribadi, hal semacam ini terasa tidak asing di negara ini. Isu ras, agama, dan gender selalu hadir tercipta di dalam konflik yang terjadi. Yang disasar adalah orang-orang yang dianggap lemah dalam hal agama, yaitu yang agamanya bukan mayoritas; orang-orang dari kalangan ras yang dianggap kelompok lemah seperti contohnya orang Tionghoa; serta jenis manusia yang kerap dipaksa dalam sistem kemasyarakatan, yaitu perempuan.
Peristiwa tersebut merupakan teror psikologis yang dahsyat. Pasca kematian Ita yang tragis, hingga kini tidak lagi ada yang berani menjadi saksi. Orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa yang mengalami hal tersebut tidak sedikit yang mengalami gangguan kejiwaan. Diaspora Tionghoa Indonesia di berbagai negara, yang menyelamatkan diri pada tahun 1998, hingga kini banyak yang tidak berani terbuka bicara tentang peristiwa tersebut. Mereka bahkan bicara berbisik meskipun dalam kamar. Mereka masih berpikir bahwa dinding-dinding memiliki telinga, sekali saja membicarakan apalagi berani melakukan perlawanan, mereka takut esok hari akan hilang nyawa .
Kasus Ita tersebut membetot perhatian Perkumpulan sosial Boen Hiang Tong Semarang. Perkumpulan yang resmi berkegiatan sejak tahun 1876 ini mengeluarkan keputusan, yang ditetapkan oleh ketuanya, Bapak Harjanto Halim untuk meletakan Sinchi (papan arwah) Ita di altar leluhur dan orang yang dihormati oleh organisasi Boen Hian Tong. Berbeda dari sinci lain di altar Boen Hian Tong yang didominasi warna kayu, sinchi Ita berwarna putih. Warna putih dalam budaya Tionghoa selalu dipakai pada upacara kematian dan acara duka sebagai lambang kembalinya jiwa pada Thian (Tuhan) untuk menjadi suci, bersih, dan murni.
Peletakan Sinchi Ita di Boen Hian Tong dilakukan pada 13 Mei 2021. Hadir pada acara tersebut Ibunda dari Ita, dan dipaparkan kesaksian pula oleh Ibu Ita F. Nadia yang juga merupakan aktifis HAM dan pendamping korban Mei ’98. Udara dalam ruangan saat itu begitu sesak bersama dengan air mata yang meleleh dari penjuru ruangan. Sejak hari itu hingga kini, Ita selalu didaraskan dalam doa-doa yang dilangitkan oleh Pengurus Boen Hian Tong dalam berbagai peringatan atau sembahyang.
Orang tidak boleh lupa ada seorang gadis remaja yang begitu hebat dan berani. Karenanya kami di Boen Hian Tong tidak akan berhenti melakukan peringatan untuk Ita dan korban Mei ’98 lainnya.
Ditulis oleh Asrida Ulinuha
Humas Boen Hian Tong
Semarang, 9 Oktober 2025, 23:30 WIB
Foto sinci: Suwito Wito
Foto Ita: laman berita merdeka dot com