Bogor, Tirto & Pram

Hotel Pasar Baru Bogor: Jejak Kolonial, Tempat Bersemainya Nasionalisme Indonesia

Di balik denyut nadi Pasar Bogor yang tak pernah berhenti berdetak, tersembunyi sebuah saksi bisu yang menyimpan narasi kompleks tentang sejarah bangsa. Hotel Pasar Baru, atau yang dulu dikenal sebagai Hotel Passer Baroe, bukan sekadar bangunan kolonial biasa, melainkan arena pertemuan berbagai arus pemikiran dan ruang inkubasi gagasan-gagasan kebangsaan Indonesia.

Primadona Pariwisata dalam Bayang-bayang Segregasi

Dibangun pada 1873 – tahun yang sama dengan beroperasinya jalur kereta api Batavia-Buitenzorg – hotel berlantai dua ini langsung menjelma menjadi primadona para pelancong. Data sejarah mengungkapkan hotel ini menjadi salah satu dari tiga pilar hospitalitas Bogor, bersama Hotel Salak dan Hotel Bellevue. Sementara Hotel Bellevue secara ketat dikhususkan untuk orang Eropa, Hotel Pasar Baru membuka pintunya bagi berbagai kalangan – dari turis Belanda, Eropa lainnya, China, Arab, hingga Bumiputera.

Hotel yang didirikan oleh pengusaha Tionghoa Tan Kwan Hong ini kemudian berpindah tangan ke keluarga Lim dan Lie. Arsitekturnya yang memadukan gaya Eropa dan Tionghoa dengan harmonis mencerminkan lokasinya di jantung kawasan Pecinan Bogor. Di atas lahan seluas 1.200 meter persegi, hotel ini menjadi mikrokosmos dinamika sosial-ekonomi era kolonial.

Tirto Adhi Soerjo: Observatorium Sosial dan Ruang Dialektika

Selama menetap di Hotel Pasar Baru, Tirto Adhi Soerjo menjadikannya lebih dari sekadar tempat tinggal – ia menciptakannya menjadi semacam observatorium sosial dan laboratorium pemikiran. Dari kamarnya yang menghadap pusat kegiatan ekonomi Bogor, Tirto dengan cermat mengamati mobilitas sosial-ekonomi kaum Tionghoa yang dinamis.

Ia menyaksikan langsung bagaimana jaringan perdagangan Tionghoa membentang dari pusat kota hingga pelosok desa, suatu masterclass dalam membangun sistem distribusi yang efisien. Dalam bidang pendidikan, Tirto mengagumi THHK, yang didirikan tahun 1901, sekolah-sekolah modern Tionghoa yang berhasil memadukan ilmu pengetahuan Barat dengan kearifan tradisional sekaligus perlawanan terhadap hegemoni kolonial Belanda.. Yang paling memukau perhatiannya adalah kemajuan pesat kaum Tionghoa dalam dunia percetakan dan penerbitan – surat kabar dan buku-buku berbahasa Melayu-Tionghoa telah menjadi kekuatan kultural dan intelektual yang signifikan.

Namun pengamatan Tirto tidak berhenti sebagai aktivitas pasif. Hotel Pasar Baru menjadi ajang pertemuan intensifnya dengan berbagai kalangan. Di ruang tamu hotel, ia berdiskusi dengan pedagang Tionghoa tentang strategi pemasaran, dengan guru-guru sekolah tentang sistem pendidikan modern, dengan pemilik percetakan tentang teknologi penerbitan terbaru. Dialog-dialog inilah yang memberinya wawasan mendalam tentang kekuatan media dan pendidikan sebagai alat perubahan sosial.

Strategi Sintesis: Merajut Gagasan untuk Kebangkitan Nasional

Pengalaman multidimensi inilah yang kemudian mengkristal dalam visi perjuangan Tirto. Ia menyadari bahwa kebangkitan nasional harus melalui penguasaan media dan pendidikan, sebagaimana telah dibuktikan komunitas Tionghoa. Berdirinya Medan Prijaji, 1907,koran nasional pertama yang sepenuhnya dimiliki dan dikelola bumi putra, menjadi wujud nyata sintesis pembelajaran Tirto selama di Bogor.

Yang lebih dalam lagi, Tirto memahami bahwa segregasi kolonial justru bisa dimanfaatkan sebagai ruang strategis untuk membangun solidaritas antar kelompok tertindas. Hotel Pasar Baru, yang berada di luar radar pengawasan ketat pemerintah kolonial, menjadi ruang aman bagi pertemuan-pertemuan lintas etnis dan kelas sosial.

Fragmen yang Terancam Punah

Setelah kemerdekaan, bangunan bersejarah ini mengalami metamorfosis menjadi tempat tinggal keluarga AURI hingga berakhirnya peristiwa G30S. Kini, nasibnya menggambarkan ironi sejarah yang pahit.

Kunjungan terkini ke lokasi menunjukkan kondisi yang memilukan. Atap, kusen, dan dinding kayu yang menjadi karakter bangunan ini telah lapuk dimakan waktu. Kaca-kaca jendela pecah, ruangan gelap tanpa sentuhan cahaya matahari, suasana lembab dan berdebu menyelimuti setiap sudutnya. Halaman yang dulu menjadi tempat pertemuan para pemikir brilian, kini beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan gerobak pedagang dan lokasi pemilahan batok kelapa.

Berdasarkan informasi terbaru, lahan bersejarah ini terancam dialihfungsikan menjadi area berjualan PKL Pasar Bogor. Jika rencana ini terealisasi, hilanglah sudah salah satu laboratorium nasionalisme Indonesia yang paling otentik.

Hotel Pasar Baru Bogor adalah lebih dari sekadar bangunan tua. Ia adalah monumen hidup yang mengajarkan tentang seni bertahan dan berstrategi dalam tekanan sistem kolonial, tentang kekuatan dialog lintas budaya, dan tentang kelahiran identitas kebangsaan dari rahim keragaman. Menyelamatkannya adalah tugas kolektif kita – bukan hanya untuk melestarikan fisik bangunan, tetapi untuk menghormati memori tentang bagaimana Indonesia modern dirumuskan dalam ruang-ruang pluralis seperti ini. Sebelum benar-benar menjadi fragmen yang hilang, sudah saatnya kita mengembalikan tempat terhormat bagi warisan sejarah yang hampir terlupakan ini dalam narasi besar bangsa Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Total
0
Share
error: Content is protected !!