Pada akhir November 2025, siklon tropis Senyar memicu bencana ekologis terburuk dalam sejarah Sumatera. Hujan yang tak henti mengubah lereng-lereng gunung menjadi jurang maut, menyapu permukiman, dan merenggut nyawa. Data terkini mencatat 174 jiwa meninggal, 79 orang hilang, dan ribuan keluarga mengungsi.
Dampak terparah terjadi di Sumatera Utara dengan 116 korban jiwa, disusul Aceh (35 tewas, 25 hilang), dan Sumatera Barat (21 tewas). Jembatan putus, akses jalan terisolasi, dan ribuan rumah hanyir terendam lumpu. Bencana ini dipicu siklon Senyar, namun akar masalahnya jauh lebih dalam.
Deforestasi: Akar Masalah yang Terabaikan
Selama puluhan tahun, Sumatera mengalami kehilangan hutan dalam skala mengkhawatirkan. Data KLHK menunjukkan deforestasi netto nasional mencapai 175.400 hektare pada 2024, dengan Sumatera sebagai episentrum. Sejak 1985, lebih dari 50% hutan Sumatera telah hilang, digantikan perkebunan monokultur dan tambang.
Total beban konsesi di Sumatera mencapai 8,4 juta hektare, terbagi untuk HGU sawit (326.417 hektare), IUP tambang (2,43 juta hektare), dan izin HTI (5,67 juta hektare). Tekanan ekologis ini memperparah dampak bencana alam, mengubah sungai-sungai seperti Sibolga dan Batang Toru menjadi arus pembawa kayu gelondongan yang mematikan.
Warisan Hutan Hujan Tropis UNESCO yang mencakup Gunung Leuser, Kerinci Seblat, dan Bukit Barisan Selatan telah masuk daftar “In Danger” sejak 2011. Namun, degradasi terus berlanjut. Di Tesso Nilo, Riau, taman nasional seluas 120.000 hektare kini hanya tersisa 38.000 hektare akibat perambahan sawit ilegal.
Respons Pemerintah: Antara Upaya dan Penolakan Status Darurat
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya penanganan. Presiden Prabowo Subianto memerintahkan percepatan evakuasi dengan mengerahkan empat pesawat Hercules dan A400, serta membentuk posko nasional di Tapanuli Utara. TNI dan Polri dikerahkan untuk proses evakuasi, sementara teknologi modifikasi cuaca digunakan untuk mengurangi intensitas hujan.
Namun, satu hal masih absen: penetapan status darurat nasional. Kepala BNPB Suharyanto menjelaskan bahwa syarat formal menurut UU No. 24/2007 belum terpenuhi. “Daerah masih mampu menangani dengan dukungan pusat,” katanya.
Penolakan ini menuai kritik dari berbagai pihak. Anggota DPR Komisi VIII menilai syarat-syarat darurat nasional sudah terpenuhi mengingat skala kerusakan dan jumlah korban yang terus bertambah. LSM lingkungan seperti WWF, TaHuKah, dan YEL mendorong moratorium izin baru dan transparansi data konsesi.
Ironi Restorasi dan Eksploitasi
Sementara pemerintah menggalakkan program “Gerakan Sejuta Pohon Setahun”, di sisi lain izin-izin baru untuk pertambangan dan perkebunan terus diterbitkan. Data menunjukkan 4.634 IUP aktif menguasai 9,1 juta hektare lahan – dua kali lipat luas Pulau Jawa.
Deforestasi diprediksi meningkat dari 261.000 hektare (2024) menjadi 600.000 hektare (2025). Riau menjadi penyumbang terbesar keempat secara nasional, dengan laju deforestasi rata-rata 428.000 hektare per tahun di Sumatera.
Bencana di Sumatera mengingatkan kita bahwa alam memiliki caranya sendiri untuk mengingatkan akan kerusakan yang terjadi. Setiap pohon yang tumbang, setiap hektare hutan yang hilang, meninggalkan jejak yang suatu hari akan kembali sebagai pelajaran berharga – meski harus dibayar dengan nyawa.
Peringatan ini semoga menjadi momentum evaluasi kebijakan pengelolaan lingkungan, sebelum bencana berikutnya datang menyapa.