Arca Avalokitesvara: Jejak Sejarah Buddha di Aceh


Aceh, sebuah provinsi di ujung utara Sumatera, kini dikenal sebagai wilayah yang menjunjung tinggi syariat Islam dan memiliki peran sentral dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Namun, lapisan sejarah Aceh jauh lebih dalam dan beragam. Sebelum era keemasan Kesultanan Aceh Darussalam, wilayah ini telah menjadi bagian dari jaringan peradaban besar, termasuk yang berbasis agama Hindu dan Buddha. Salah satu bukti fisik yang sangat penting dari masa pra-Islam ini adalah penemuan Arca Kepala Awalokiteswara.

Arca yang terbuat dari batu andesit ini diperkirakan berasal dari abad ke-9 hingga ke-10 Masehi dan kini menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia. Penemuannya di sekitar Koetaradja (kini Banda Aceh) pada era kolonial Belanda tahun 1930-an membuka jendela mengenai keberadaan komunitas Buddha di Aceh masa lalu. Keistimewaan arca ini terletak pada hiasan mahkotanya yang memuat tiga figurin Amitabha (sikap dhyanamudra di atas padma) di sisi kanan, kiri, dan depan—sebuah ciri yang belum ditemukan padanannya di tempat lain di dunia, yang biasanya hanya memiliki satu figurin di bagian depan.

Ciri estetika arca ini menunjukkan perbedaan dengan gaya seni Buddha masa Dinasti Sailendra di Jawa Tengah. Wajahnya yang lebih tirus dan detail ceplok bunganya justru menunjukkan kemiripan dengan gaya Awalokiteswara dari Siam (Thailand) pada periode yang sama. Meski Bambang Budi Utomo dalam Treasures of Sumatra menduga arca ini merupakan barang impor, terdapat hipotesis menarik yang menyatakan bahwa arca ini justru dibuat secara lokal di Aceh. Dugaan ini didasarkan pada jenis batu andesit yang digunakan, yang sangat mirip dengan bahan batu nisan dari Kesultanan Lamuri (kerajaan Islam awal di Aceh), bahkan pola ukirannya memiliki kesamaan gaya dengan nisan-nisan Lamuri.

Kesamaan material dan gaya ini mengarah pada sebuah narasi sejarah tentang transformasi. Hipotesis yang dikemukakan merujuk pada Kerajaan Lamuri sebagai titik penting. Diceritakan bahwa Maharaja Po Liang, seorang bangsawan dari Langkasuka yang menganut Buddha aliran Hinayana Mantrayana, tiba di Aceh dan menikahi penguasa setempat dari Dinasti Mante, Maharani Putro Budian. Dari pernikahan inilah kemudian Po Liang diangkat sebagai Raja Lamuri pertama yang Buddha. Lamuri kemudian tercatat dalam sumber-sumber sejarah sebagai kerajaan yang eksis setidaknya sejak abad ke-9 Masehi dan sempat berada dalam pengaruh Sriwijaya.

Transformasi keyakinan terjadi seiring waktu. Catatan tradisional seperti manuskrip Teuku Raja Muluk Attahasi yang dikutip Dada Meuraksa menyebutkan rangkaian penguasa Lamuri, dimulai dari era Buddha hingga kemudian masuk Islam pada masa Maharaja Lam Teuba (abad ke-8 M), yang berpindah agama setelah menerima dakwah dari seorang sayid. Dinasti Islam awal Lamuri ini disebut menganut mahzab Syiah sebelum kemudian berkembang menjadi kesultanan yang menganut Ahlussunnah wal Jamaah.

Melemahnya hegemoni Sriwijaya setelah serangan Kerajaan Cola (Chola) pada abad ke-11 memberikan ruang bagi kebangkitan politik baru di wilayah Aceh. Dalam perkembangan selanjutnya, Kerajaan Lamuri bersama beberapa kerajaan Islam tetangga seperti Pasai, Pedir, dan Perlak, bersatu di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah pada awal abad ke-16, membentuk Kesultanan Aceh Darussalam yang megah. Nama “Aceh” sendiri telah disebut dalam catatan seperti Tarikh Kedah (abad ke-13) dan laporan pedagang Portugis awal abad ke-16.

Dengan demikian, Arca Awalokiteswara bukan sekadar peninggalan arkeologis yang terisolasi. Ia adalah sebuah simbol dari lapisan sejarah Aceh yang kompleks—sebuah era ketika pengaruh Buddha berkembang di wilayah strategis Selat Malaka. Arca ini menjadi titik awal untuk memahami proses transformasi kebudayaan dan keyakinan yang panjang, dari kerajaan-kerajaan awal yang dipengaruhi India, melalui era Lamuri yang mengalami peralihan agama, hingga konsolidasi politik dan keagamaan yang melahirkan Kesultanan Aceh Darussalam, salah satu kekuatan Islam terpenting di Asia Tenggara. Jejak Buddha dalam arca andesit itu dan jejak Islam dalam nisan dari bahan serupa, menceritakan sebuah kisah kesinambungan dan perubahan dalam peradaban Aceh.

Referensi Tambahan:

· Bambang Budi Utomo. Treasures of Sumatra. Museum Nasional, 2009.
· George Coedes. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2010.
· M. Zainuddin. Tarich Aceh dan Nusantara. Pustaka Iskandar Muda, 1961.
· Teuku Iskandar. De Hikajat Atjeh. Disertasi, 1958.
· Sejarah Dinasti Song (catatan kronik Cina kuno).
· Artikel-artikel sejarah dan budaya Aceh dari tengkuputeh.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Total
0
Share
error: Content is protected !!