Hilangnya Bukti Material: Kehancuran Warisan Arkeologi Sriwijaya

Pulau Sumatera menyimpan jejak salah satu imperium maritim terbesar di Asia Tenggara, Sriwijaya. Namun, berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain yang meninggalkan candi-candi megah dari batu, warisan material Sriwijaya justru banyak ditemukan dalam kondisi yang memprihatinkan: teronggok di dasar sungai, pecah berkeping, atau terkubur rapi di dalam tanah.

Pertanyaan kritis pun mengemuka: apakah kehancuran ini sekadar kerja waktu dan alam, ataukah ada tangan manusia yang secara sistematis mencoba menghapus jejak-jejak masa lalu?

Ikon Kejayaan yang Rapuh: Arca-arca Istimewa dari Dasar Sungai

Bukti kejayaan Sriwijaya kerap ditemukan dari perairan. Salah satu temuan paling spektakuler adalah arca Awalokiteswara berlapis emas dari dasar Sungai Batanghari, Jambi. Arca setinggi 39,4 cm ini menggambarkan sosok Bodhisattva welas asih dengan keseimbangan sempurna, berdiri tanpa penyangga. Meski kini ketiga dari empat tangannya telah hilang, lapisan emasnya menegaskan identitas Sumatera sebagai “Pulau Emas” sekaligus kemahiran seni lokal yang dipengaruhi kebudayaan Cola dari India Selatan, terlihat dari lipatan kainnya yang dihiasi motif kepala harimau.

Temuan lain yang tidak kalah penting adalah arca Awalokiteswara berlengan delapan dari Sungai Komering, Sumatera Selatan, serta arca Maitreya dari sungai yang sama. Pola temuan ini konsisten: kepala arca Awalokiteswara pernah ditemukan secara tidak sengaja oleh anak-anak yang sedang mandi di Sungai Kedukan. Konsentrasi arca Buddha di sungai-sungai besar di Sumatera Selatan, seperti Musi dan anak-anak sungainya, bukanlah kebetulan.

Kerusakan yang Disengaja: Petaka Sosial pada Masa Transisi Kekuasaan

Berdasarkan analisis terhadap pecahan-pecahan arca, para arkeolog seperti Retno Purwanti dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan menyimpulkan bahwa banyak kerusakan disebabkan oleh faktor manusia, bukan alam. Bukti kuat mengarah pada periode Kesultanan Palembang, khususnya pada masa pemerintahan Susuhunan Abdurrahman.

Terdapat perintah resmi dari kesultanan untuk memusnahkan arca-arca berhala. Sejarawan A. Sulaiman Maruff dalam tulisannya pada 1993 mendokumentasikan bahwa umat Islam diwajibkan membuang atau menghancurkan arca yang disimpan di rumah-rumah. Bagi yang tinggal di tepi sungai, solusinya adalah membuangnya ke air. Arca-arca dari Komering, misalnya, semuanya ditemukan di sungai. Sementara, penduduk yang jauh dari aliran air memilih mengubur arca-arca itu di dalam tanah atau di rawa-rawa. Tindakan ini merupakan bagian dari proses penghancuran budaya Hindu-Buddha untuk mengonsolidasikan identitas Islam di pusat bekas kerajaan Sriwijaya tersebut.

Ancaman Lain: Kejamnya Waktu dan Proses Alami

Meski vandalisme manusia menjadi penyebab utama di Palembang, faktor alam juga berperan besar dalam meluruhkan warisan Sriwijaya. Iklim tropis lembap dan kondisi tanah yang asam merupakan musuh alami bagi material organik dan logam.

· Korosi di Lingkungan Basah: Arca logam, terutama dari perunggu, sangat rentan mengalami korosi ketika terendam lama di sungai atau terkubur. Lapisan emas pada arca Batanghari, misalnya, mengalami korosi akibat endapan sungai.
· “Penyakit Perunggu” (Bronze Disease): Korosi pada artefak tembaga atau perunggu bisa berkembang menjadi “penyakit perunggu”, sebuah reaksi kimia irreversible yang dipicu oleh klorida dan kelembapan. Reaksi ini dapat terus menggerogoti logam hingga hancur total, dan penyembuhannya sangat sulit serta mahal.
· Bahan Bangunan yang Mudah Lapuk: Berbeda dengan Mataram Kuno yang membangun candi dari batu andesit, struktur di Sriwijaya banyak dibangun dari bata dan kayu. Bahan-bahan ini mudah lapuk diterpa air dan iklim tropis dalam waktu ratusan tahun, sehingga meninggalkan sangat sedikit jejak arsitektur yang bisa dilihat hari ini. Inilah sebabnya, meskipun pengaruhnya besar, bukti fisik kejayaan Sriwijaya jauh lebih sulit ditemukan.

Kerusakan alamiah ini dapat diamati di situs-situs seperti Bumiayu, di mana arca ditemukan rusak di bagian atasnya karena tertimbun atau tertindih struktur lain, berbeda dengan pola penghancuran intensif di Palembang.

Mosaik yang Tercecer dan Upaya Rekonstruksi

Terkadang, fragmen sejarah muncul secara tak terduga. Pada 2020, seorang petani di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi secara tidak sengaja menemukan 11 potongan arca hijau tosca di lahannya. Ahli menduga potongan yang menampilkan atribut sankha (siput) dan cakra (roda) itu adalah bagian dari arca Dewa Wisnu dari abad ke-12 Masehi. Temuan ini memperkuat kesaksian bahwa kehidupan agama Hindu dan Buddha pernah berdampingan di kompleks yang lebih dikenal sebagai pusat Buddhis ini.

Namun, potongan-potongan itu hanyalah satu keping dari puzzle raksasa yang hilang. Banyak artefak Sriwijaya, mulai dari tembikar, manik-manik, mata uang timah berbentuk kapal, hingga lembaran surat timah beraksara Palawa dan Sanskerta, telah ditemukan di dasar Sungai Musi. Sayangnya, banyak yang hilang ke pasar gelap sebelum sempat diteliti.

Upaya untuk menyatukan kembali narasi sejarah ini pun menghadapi tantangan. Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya di Karanganyar, Palembang, yang seharusnya menjadi pusat informasi, dinilai kurang terpelihara dan belum berfungsi optimal. Padahal, situs dengan jaringan kanal, kolam, dan pulau buatan ini adalah bukti fisik keberadaan permukiman kuno yang canggih.

Kehancuran arca-arca Sriwijaya adalah kisah kompleks yang melibatkan konflik ideologis, kejamnya alam tropis, dan kelalaian zaman modern. Setiap arca yang pecah dan setiap artefak yang larut terjual bukan hanya kehilangan sebuah benda, melainkan pemutusan satu rangkaian memori kolektif tentang peradaban besar Nusantara. Menyelamatkan dan merekonstruksinya bukan sekadar tugas arkeolog, tetapi komitmen bangsa untuk tidak kehilangan akar sejarahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Total
0
Share
error: Content is protected !!