EKOSIDA SUMATRA

Ekosida Sumatra: Ketika Pelanggaran Ekologi Menuntut Nyawa Manusia dan Satwa Langka

Lebih dari seribu jiwa melayang. Hampir dua ratus manusia masih hilang, terkubur di bawah lumpur dan material hutan yang longsor. Seekor orangutan Tapanuli, spesies kera besar paling langka di dunia, ditemukan mati dengan daging terkoyak dari wajahnya, teronggok di tengah puing-puing kayu dan lumpur. Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 bukan sekadar peristiwa alam. Data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 17 Desember 2025 mencatat korban meninggal telah mencapai 1.053 jiwa, dengan 200 orang masih dinyatakan hilang.

Dampak Kemanusiaan dan Lingkungan yang Kolosal

Duka menyelimuti tiga provinsi dengan korban jiwa yang terus bertambah. Di Aceh, 449 nyawa telah hilang. Sumatera Utara kehilangan 360 warganya, sementara Sumatera Barat mencatat 244 korban jiwa. Bencana ini juga memaksa lebih dari 600 ribu orang mengungsi dan merusak hampir 150 ribu unit rumah. Hingga hari ini, 25 kabupaten/kota masih berstatus tanggap darurat.

Tragedi ini melampaui krisis kemanusiaan; ia adalah bencana ekologis yang memusnahkan keanekaragaman hayati. Hilangnya habitat di Ekosistem Batang Toru, yang berperan sebagai daerah tangkapan air, tidak hanya memicu banjir tetapi juga mengancam kepunahan spesies endemik. Analisis spasial para ilmuwan menunjukkan bahwa longsor mungkin telah memusnahkan sekitar 35 individu orangutan Tapanuli—setara dengan 4% dari total populasi globalnya yang hanya tersisa 577-760 individu. Kematian seekor gajah Sumatera di Aceh juga mempertegas dampak luas bencana ini pada satwa terancam punah.

Residents cross the river on a newly built bridge connecting Aceh and North Sumatra province after being destroyed by flash floods at Peusangan river in Bireuen district, Indonesia’s Aceh province on December 9, 2025. (Photo by CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP/Chaideer MAHYUDDIN / AFP via Getty Images)

Akumulasi “Dosa Ekologis” sebagai Akar Tragedi

Para ahli sepakat bahwa hujan ekstrem yang dipicu Siklon Tropis Senyar hanyalah pemicu. Akar penyebab sebenarnya adalah akumulasi kerusakan lingkungan selama puluhan tahun yang telah melampaui ambang batas daya dukung alam.

· Hilangnya “Spons Raksasa” di Hulu: Hutan alam di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) berfungsi sebagai spons raksasa yang menyerap air. Dalam kondisi ideal, hanya 10-20% air hujan yang langsung menjadi aliran permukaan. Namun, deforestasi masif telah menghilangkan fungsi kritis ini. Di Sumatera Utara, tutupan hutan hanya tersisa 29%, sementara Sumatera Barat kehilangan 740 ribu hektar tutupan pohon dalam dua dekade terakhir. Di Aceh, beberapa DAS mengalami kerusakan tutupan hutan hingga 75%.
· Eksploitasi di Kawasan Genting: Ekosistem kritis seperti Batang Toru telah mengalami deforestasi seluas 72.938 hektar antara 2016-2024, terutama didorong oleh operasi 18 perusahaan. Aktivitas pertambangan emas, perkebunan, dan proyek pembangkit listrik tenaga air di kawasan yang seharusnya dilindungi telah melemahkan struktur tanah dan menyempitkan aliran sungai.
· Kegagalan Sistem Peringatan dan Pengawasan: Peringatan dini dari BMKG tentang pembentukan Pusat Tekanan Rendah dan Bibit Siklon pada pertengahan November 2025 tidak direspons dengan tindakan pencegahan yang serius oleh otoritas terkait.

Tuntutan Keadilan dan Tanggung Jawab

Lembaga lingkungan seperti WALHI menegaskan bahwa bencana ini adalah bentuk “legalisasi bencana ekologis” oleh negara melalui pemberian izin-izin eksploitasi di kawasan berisiko tinggi. Mereka menuntut pertanggungjawaban negara dan korporasi, termasuk pencabutan izin operasi di ekosistem genting, pemulihan lingkungan yang rusak, dan pengesahan mekanisme Analisis Risiko Bencana yang wajib bagi setiap proyek pembangunan.

Pelajaran dari tragedi ini harus menjadi titik balik. Mitigasi bencana ke depan tidak bisa lagi hanya fokus pada pembangunan tanggul atau normalisasi sungai di hilir (pendekatan struktural). Pemerintah harus segera mengembalikan fungsi ekologis dengan melakukan restorasi hutan dan DAS di hulu, serta menegakkan moratorium dan penegakan hukum terhadap aktivitas perusakan lingkungan di kawasan sensitif. Nasib manusia dan keanekaragaman hayati Sumatra kini bergantung pada pilihan kita: terus mengeksploitasi hingga titik kehancuran, atau mulai memulihkan dan menghormati batas-batas alam.

Sumber Data Korban per 17 Desember 2025:

· Total Korban Meninggal: 1.053 jiwa.
· Rincian per Provinsi:
· Aceh: 449 jiwa.
· Sumatera Utara: 360 jiwa.
· Sumatera Barat: 244 jiwa.
· Korban Hilang: 200 jiwa.
· Pengungsi: 606.040 jiwa.
· Rumah Rusak: 146.758 unit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Total
0
Share
error: Content is protected !!