dove of peace, dove, peace, bird, world peace, symbol, freedom, heaven, peace sign, world peace day, nature, ai generated

Dividen Perdamaian

Sodara tentu tahu yang namanya dividen, kan? Kalau saudara membeli saham atau hak kepemilikan sebuah usaha, ketika usaha itu untung maka ia dibagi diantara pemegang saham. Itu namanya dividen.

Dalam politik internasional, ada yang namanya ‘dividen perdamaian.’ Ini adalah istilah untuk menggambarkan keuntungan ekonomi yang didapat oleh satu negara karena tidak ada perang alias masa damai. Anggaran yang sehrusnya untuk militer dan semua keperluan perang bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan pembangunan ekonomi dalam negeri.

Hampir semua negara bisa maju karena dividen ini. Dividen ini bisa didapat karena satu negara mendapat perlindungan dari negara lain yg lebih besar atau dari keadaan alam. Amerika Serikat, misalnya, berada diantara dua samudra besar — Atlantik dan Pasifik. Dua samudra yang super luas ini seakan menjadi benteng pertahanan alami untuk AS.

Tentu kemajuan AS itu tidak hanya karena posisinya saja. Tapi juga karena kekayaan alamnya (natural resources endowment) yang dimilikinya. Yang lebih penting lagi adalah caranya mengelola sumber daya manusia, yang pada gilirannya akan memempengaruhi caranya mengelola sumber-sumber alam.

Kemudian ada negara yang mendapatkan dividen ini tanpa karunia lokasi geografis atau sumber daya alam. Mereka mendapat dividen perdamaian ini karena perlindungan negara lain. Negara-negara NATO, misalnya, mendapat perlindungan dari Amerika Serikat yang merupakan kontributor terbesar untuk pertahanan NATO. Jerman sesudah PD II bisa melakukan rekonstruksi dan membangun industrinya karena dividen ini. Juga negara-negara Eropa yang lain.

Bagaimana dengan Asia? Ini sangat jelas tergambar dari pertumbuhan ekonomi macan-macan Asia (Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura). Semua negara ini mendapat perlindungan Amerika baik dalam hal pertahanan maupun dalam melakukan reindustrialisasi.

Jepang jelas mengabaikan masalah pertahanan karena konstitusi Jepang yang dibikin oleh AS menyebutkan Jepang tidak boleh memiliki angkatan perang kecuali dengan tujuan-tujuan pasifis. AS mengambialih pertahanan Jepang sehingga Jepang bisa memusatkan dirinya pada pertumbuhan ekonominya. Jadilah, Jepang sangat cepat menjadi negara industri.

Hal yang sama juga terjadi pada Korea Selatan, Taiwan, dan Singapore. Walaupun ada variasi diantara negara-negara ini, namun pada intinya tetap sama: AS memegang kunci dari pertahanan negara-negara ini. Dengan AS mengambilalih pertahanan, negara-negara ini bisa memusatkan semua sumber dayanya untuk menjadi negara kapitalis maju.

Dividen perdamaian ini sedang ditanggalkan sekarang. Penguasa Amerika, Donald Trump, mulai mempertanyakan: Mengapa AS harus menanggung pertahanan negara-negara ini, yang kemudian menggerogoti ekonomi Amerika? Perspektif Trump ini tentu bisa diperdebatkan. Karena Amerika juga sangat diuntungkan dari tata geo-politik dengan dominasi AS.

Teori dividen perdamaian ini juga bisa dipertanyakan kesahihannya dengan kasus negara seperti Filipina. Mengapa Filipina tetap miskin sekalipun Amerika menempatkan pangkalan militernya disana?

Rupanya dividen perdamaian ini tidak berlaku di negara-negara yang mengalami pergolakan di dalam negerinya. Filipina dan beberapa negara Asia Tenggara yang berada dalam ‘perlindungan’ AS seperti Thailand dan Indonesia tidak mengalami dividen perdamaian ini sekalipun sempat mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Thailand mengalami pergolakan dalam negeri karena letak negeri ini di antara negara-negara komunis. Indonesia sendiri menghambur-hamburkan dividen ini dengan invasi ke Timor Leste dan sibuk merepresi oposisi demokratis yang tumbuh bersama pertumbuhan ekonomi.

Bagaimana dengan China? Saya kira, China memanfaatkan dividen ini sejak perbaikan hubungan dengan AS. Sebelum kekuasaan Trump, China sengaja tidak memperlihatkan ambisi militernya. AS pun melihat China sebagai pabrik dari barang-barang kebutuhannya. Kedua negara ini terlibat dalam simbiosme yang saling menguntungkan.

China memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan ekonominya. Karena China tidak mengembangkan militernya, AS tidak melihatnya sebagai ancaman. Baru setelah ekonomi China terancam, barulah ia mengembangkan militernya. Sebagaimana halnya China, mereka sangat cepat mengejar ketertinggalannya. Sekarang China menjadi salah satu kekuatan militer — dengan Parade militer yang dikagumi banyak orang, termasuk Presiden Prabowo.

Apa yang bisa dipelajari dari dividen perdamaian ini? Ada banyak hal. Namun yang pertama adalah periode damai dimanfaatkan banyak negara untuk memperkaya diri, membangun ekonomi, membangun institusi-institusi sipil yang beradab.

Memang ada beberapa negara yang mulai pembangunan ekonominya dengan kediktatoran militernya. Umumnya itu dilakukan dengan bantuan AS karena ketakutan akan ancamab rejim-rejim komunis. Korea Selatan dan Taiwan mengalami ini, namun tidak Jepang.

Kediktatoran militer memang memberikan stabilitas dan jaminan bahwa komunisme tidak berkembang di negara-negara ini. Namun, ada saatnya ketika rejim-rejim militer ini jatuh karena tidak bisa bertahan secara struktural. Rejim-rejim sipil tumbuh untuk meneruskan pembangunan ekonomi kapitalistik.

Kalau kita amati, hampir semua negara yang mengalami dividen perdamaian ini tidak membesarkan militernya secara besar-besaran walaupun sistem mereka dikuasai oleh militer.

Di hampir semua negara ini berlaku satu mantra: kaya dulu, baru kemudian perkuat diri secara militer. Penguatan militer itu bertujuan untuk melindungi pencapaian ekonomi.

Itulah yang dilakukan oleh China sekarang ini. Mereka memperbesar anggaran militernya untuk mempertahankan ekonominya. Hal yang sama dilakukan negara-negara yang merasakan bahwa dividen perdamaian yang selama ini mereka nikmati sedang berkurang atau hilang. Kebijakan Trump di AS yang memfokuskan diri ke dalam AS membuat banyak negara memperkuat pertahanan militernya.

Berkaitan dengan hal ini, mungkin kita bisa melihat Indonesia. Remiliterisasi besar-besaran yang tengah berlangsung sekarang ini, menimbulkan pertanyaan: Apa yang sedang dipertahankan? Apakah tepat membuat batalyon-batalyon yang mengurusi pertanian, peternakan, perikanan, dan kesehatan? Mengapa memperbesar militer justru ketika ekonomi sedang menderita flu batuk pilek? Mengapa tidak fokus memperbaiki ekonomi saja?

Salah satu argumen untuk melipatgandakan militer kita adalah karena sebentar lagi akan ada perang besar. Jikapun itu benar, maka siapkah kita dengan postur pertahanan dengan basis-basis pertanian, peternakan, perikanan, dan kesehatan itu?

Lalu apa tujuan untuk memperbesar tentara justru ketika keuangan negara dan ekonomi sedang sakit ini? Saya tidak tahu persisnya. Ada juga argumen bahwa militer akan memperkuat pertumbuhan ekonomi. Kalau ini benar, saya akan bilang: good luck with that! Bahkan militer akan mengambilalih peran petani, peternak dan pelaku-pelaku kegiatan ekonomi tradisional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Total
0
Share
error: Content is protected !!