Sekretaris Daerah Provinsi Bali Bali Dewa Made Indra, sahabat saya. Malah sahabat sekelas sewaktu sama-sama di SMPN 2 Singaraja. Beliau semasa sekolah cerdas dan gampang bersahabat. Namun saya sama sekali tak pernah menggunakan persahabatan saya untuk hal-hal yang sifatnya personal. Kami tetap bersahabat walau jarang berkabar.
Terhadap video viral “pembinaan” Sekda kepada para ASN yang membocorkan kebijakan donasi paksarela itu pandangan saya sebagai berikut :
Rakyat sedang susah, rakyat sedang marah, rakyat disuguhi kepemimpinan yang tak efektif, situasi sedang tidak baik-baik saja. Jangan sampai Bali di-Nepalkan. Percaya saya, ada pemimpin, tinggal tekan knop saja semua bergerak dan meledak seperti Nepal. Mau?
Semua pihak –baik pejabat, rakyat biasa dan penjahat sekalipun– mesti mengubah mindset bahwa saat ini dengan dahsyatnya pengaruh media sosial, semua orang bisa jadi penyampai pesan informasi dengan dampak keserentakan yang hebat (viral).
Kesadaran atas fakta pertama, menuntut semua pihak untuk sadar kamera, sadar dampak, dan sadar situasi lingkungan yang semua bisa jadi pemberita. Kesadaran ini mendorong kita semua apalagi pejabat untuk selektif menjaga lisan dan tulisan.
Posisi sekda dan jabatan lain bukanlah penguasa, pemerintah, pemilik aset, kewenangan, sumber daya. Pemilik sah semua itu –berdasarkan teori negara demokrasi dan kedaulatan rakyat — adalah rakyat. Rakyat mempercayakan kedaulatannya dikelola oleh pemimpin yang dipilihnnya (gubernur dan wakil gubernur). Rakyat memberinya anggaran melalui pajak. Agar gubernur dan wakil bisa menjalankan program sebagai implememtasi kedaulatan rakyat itu, negara memberi sistem pendukung yang namanya birokrasi untuk melayani pemimpin pilihan rakyat. Semua elemen birokrasi sejatinya pelayan rakyat. Substansi pengarahan sekda masih memposisikan diri dalam paradigma konservatif bahwa dirinya sebagai penguasa atas puluhan ribu ASN, mungkin juga aset dan anggaran. Menyebutkan birokrasi sebagai “rumah tangga sendiri” yang tak boleh diketahui publik adalah sikap keliru dengan prinsip birokrasi pelayan pemimpin dan rakyat.
Kebijakan donasi tanpa aturan hukum yang jelas dengan cara-cara pemaksaan itu (faktanya sampai-sampai ditalangi lebih dulu) dan ASN mencicil. Jumlah besar dan memaksa ini, bentuk nyata “pungutan liar” yang bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi. Artinya siap-siap saja aktor dibaliknya masuk penjara jika kasus ini masuk ranah hukum. Pernyataan gubernur, sekda dan video itu adalah alat bukti telak untuk menegaskan memang ada pungutan liar tanpa dasar hukum yang jelas.
Publik dan ASN memiliki hak asasi untuk mengekpresikan ketidaksetujuannya sebagaimana dijamin UUD 1945. Sumber masalahnya bukan pada ASN yang membocorkan. Sumber masalahnya pada ide bodoh donasi paksaan itu dan cara pemgelolaan uang publik yang sembrono (seperti mengelola sebuah kerumunan).
Sebagai publik saya menuntut transparansi jumlah dan alokasi dana publik itu. Apabila tak tampak (apalagi bertentangan dengan ide awal) sejumlah pihak siap akan membawa ke ranah hukum dan saya akan bergabung di dalamnya.
Langkah yang benar adalah: sekda membuat surat edaran sumbangan sukarela donasi banjir tanpa plafon angka tertentu. Boleh menyumbag atau tidak. Lalu kepala instansi menyebarkan list sumbangan, mencatat dan mengumpulkan sumbangan. Donasi sukarela diserahkan ke sekda. Sekda mengumumkan jumlah sumbangan per lembaga dan pemanfaatannya untuk apa ke publk. Sangat transparan dan tanpa potensi bermasalah secara hukum