Perlawanan masyarakat Tambogrande di Peru terhadap tambang menjadi referensi global. Pertanyaannya, mampukah Indonesia memilih jalan serupa untuk membangun kesejahteraan yang lestari, atau akan terus tergantung pada ekonomi ekstraktif?
Tambogrande adalah kota pertanian subur di Peru yang hidup dari mangga, jeruk nipis, dan alpukat. Pada awal 2000-an, pemerintah Peru memberikan konsesi tambang emas, perak, dan tembaga di bawah kota tersebut kepada sebuah korporasi Kanada. Penduduk diminta pindah dengan iming-iming menjadi jutawan baru.
Alih-alih menerima, warga melakukan mobilisasi perlawanan. Pada 2002, sekitar tiga perempat dari 16.000 penduduk menghadiri plebisit lokal yang inisiatif. Hasilnya sangat tegas: lebih dari 95% menolak kehadiran tambang. Meskipun tidak mengikat secara hukum, tekanan demokrasi langsung ini memaksa pemerintah membatalkan konsesi tersebut.

Penulis Uruguay Eduardo Galeano mengabadikan peristiwa ini. Ia menulis bahwa warga memilih untuk melanjutkan hidup dengan buah-buahan mereka, karena mereka tahu emas akan mengutuk tanahnya: meratakan bukit dengan dinamit dan meracuni sungai dengan limbah sianida. Galeano menutup catatannya dengan kilas balik sejarah tahun 1533, ketika conquistador Spanyol Francisco Pizarro tetap mencekik mati Raja Atahualpa meski sang raja telah menyerahkan seluruh emas yang diminta. Kisah ini mempertanyakan pola sejarah di mana sumber daya alam justru mendatangkan malapetaka bagi pemiliknya.

Potret Indonesia: Pertanian yang Tangguh dan Ketergantungan pada Tambang
Untuk melihat peluang Indonesia, kita dapat membandingkan kontribusi dan daya tahan sektor pertanian dengan sektor pertambangan.
Sektor Pertanian Indonesia
Kontribusi terhadap PDB mencapai 11.31% pada 2024, menjadikannya penyumbang ketiga terbesar. Sektor ini memiliki peran strategis sebagai penopang industri pengolahan, pencipta lapangan kerja yang luas, dan penyangga ketahanan pangan nasional. Potensi penguatannya terletak pada kemitraan petani-industri yang lebih adil, adopsi teknologi pascapanen, serta sistem data pertanian yang lebih akurat.
Sektor Pertambangan Indonesia
Kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB juga masuk dalam lima besar, namun secara angka telah dilampaui oleh kontribusi sektor pertanian. Sektor ini kerap dianggap sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi, terutama melalui kebijakan hilirisasi yang mendorong pengolahan mineral di dalam negeri. Tantangan utamanya adalah ketergantungan pada dinamika geopolitik global, tekanan transisi energi, dan fluktuasi harga komoditas yang sangat tinggi.
Data menunjukkan bahwa pertanian bukanlah sektor marginal, melainkan penopang ekonomi yang solid dan berdaya tahan. Namun, naratif pertumbuhan nasional masih sering kali bertumpu pada ekstraksi sumber daya tambang, sebuah paradigma yang menempatkan nilai ekonomi jangka pendek di atas keberlanjutan ekologi dan sosial jangka panjang.
Plebisit dan Demokrasi: Mampukah Suara Rakyat Langsung Berkumandang?
Kemenangan Tambogrande dicapai melalui mekanisme demokrasi partisipatif langsung, yaitu plebisit. Indonesia memiliki akar sejarah demokrasi yang kuat, dengan Pemilu 1955 sering dikenang sebagai momen di mana kedaulatan rakyat dijalankan secara langsung.
Namun, demokrasi kita saat ini lebih bersifat perwakilan. Ruang bagi partisipasi langsung warga dalam menentukan nasib sumber daya alamnya masih terbatas. Protes dan penolakan masyarakat terhadap proyek ekstraktif yang merusak lingkungan telah banyak terjadi, tetapi seringkali berakhir di meja perundingan yang timpang atau berlarut-larut tanpa kepastian. Mekanisme konsultasi publik dalam proses perizinan sering dianggap sebagai formalitas belaka, bukan sebagai instrumen kedaulatan yang substansial dan mengikat.
Melampaui Pilihan Palsu: Menuju Tata Kelola yang Berdaulat

Pertanyaan akhirnya bukan sekadar apakah Indonesia bisa menjadi Tambogrande berikutnya, tetapi apakah Indonesia mampu merancang masa depannya sendiri yang tidak terjebak dalam dikotomi eksploitasi versus kemiskinan.
Memperkuat kedaulatan pertanian dan pangan adalah fondasi utama. Kisah Tambogrande dan kontribusi nyata sektor pertanian Indonesia menguatkan bahwa investasi pada sistem pangan yang berkelanjutan, akses pasar yang adil, serta perlindungan lahan subur merupakan jalan menuju kesejahteraan yang inklusif dan tahan lama.
Mendemokratisasi pengambilan keputusan adalah keniscayaan. Indonesia perlu merancang dan menerapkan mekanisme demokrasi partisipatif yang memiliki kekuatan hukum untuk keputusan strategis mengenai alam. Hal ini dapat berupa pengakuan dan penguatan hak menentukan masyarakat adat dan komunitas lokal atas wilayah hidup mereka, didukung dengan informasi yang utuh dan transparan.
Mengubah paradigma pembangunan adalah tugas besar. Ketergantungan pada ekonomi ekstraktif harus ditransformasi. Kebijakan hilirisasi dan komitmen reklamasi adalah langkah awal, tetapi yang lebih penting adalah mengalihkan insentif ekonomi dan politik secara masif menuju ekonomi yang regeneratif, berbasis pada pengetahuan lokal, dan menghormati keanekaragaman hayati.
Sejarah tidak harus berulang. Kutukan Atahualpa—di mana kekayaan alam justru mendatangkan kehancuran bagi pemiliknya—bisa diakhiri. Kuncinya terletak pada keberanian untuk menempatkan kedaulatan rakyat atas tanah, air, dan sumber kehidupannya sebagai hukum tertinggi, seperti yang diajarkan oleh petani-petani di lembah San Lorenzo.